Mencari Format Dasar Hukum Terorisme

Berbagai aksi terorisme terus berlanjut seakan tidak ada habisnya, mulai dari aksi Dr. Azahari dan Noordin M Top asal Malaysia sampai dengan kelompok Santoso seakan. Ibarat pepatah mati satu tumbuh seribu. Kini, pola gerakan mereka untuk menarik simpatik publik mengikuti perkembangan zaman, yaitu dengan menyebarkan paham radikalisme melalui dunia maya. Hal ini pasti membuat kita sebagai orang awam menjadi emosional dan bertanya-tanya kenapa terorisme bisa tumbuh subur di Indonesia sekaligus melakukan aksi kejahatannya.

Jika disimak pendapat yang dilontarkan para pengamat dan tokoh tentu beraneka ragam jawab dapat ditemukan terkait tumbuh suburnya gerakan ini. Dari kesemuanya itu dapat disimpulkan tiga alasan utama yang menjadi penyebabnya, yaitu lemahnya payung hukum, rendahnya pendidikan, dan melebarnya kemiskinan.

Pendidikan yang rendah dan angka kemiskinan yang tinggi, jelas akan menjadi ladang garapan empuk bagi siapa pun untuk berjualan ideologi, keyakinan, atau bahkan mimpi-mimpi. Lalu yang menjadi pertanyaan bagaimana dengan alasan hukum. Fakta menunjukkan bahwa pada era Orde Baru Undang-Undang No. 11/PNPS/1963 tentang Tindak Pidana Subversi (UU Subversi) diberlakukan, teroris seperti tidak ada nafasnya sama sekali di Indonesia. Kemudian setelah UU Subversi tersebut dicabut, Indonesia menjadi sasaran empuk para teroris. Sejak bom malam Natal pada tahun 2000, aksi terror bom ini seakan tidak berhenti bahkan telah menjadi horor di negeri ini.

Kini Undang-Undang Subversi tersebut diganti dengan Undang-Undang No 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme (UU Antiterorisme). UU yang dibentuk pada pemerintahan Megawati oleh berbagai kalangan dianggap masih seperti macan ompong. Buktinya teroris masih terus berkembang di Indonesia walaupun aparat Kepolisian, dengan Densus 88 -nya, terus melakukan penangkapan-penangkapan. Yang nampak disini adalah mereka yang ditangkap hanya bagian ujung ranting dari kegiatan teror itu sendiri. Padahal masih terdapat cabang, batang, dan akar yang telah menancap di bumi Indonesia.

Pemerintah tidak tinggal diam melihat kondisi keamanan bangsa menjadi terancam oleh ulah para teroris. Pada tanggal 16 Juli 2010 BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) dibentuk melalui Peraturan Presiden Nomor 46 Tahun 2010 yang terdiri dari unsur gabungan, dibawah kordinasi Menkopolhukam. Lembaga Pemerintah ini bertugas menyusun kebijakan, strategi, dan program nasional di bidang penanggulangan terorisme. Walaupun baru seumur jagung ternyata BNPT mempunyai peranan yang sangat penting dalam penanggulangan terorisme di Indonesia dan Luar Negeri. Salah satu langkah BNPT yang dinilai positif dan mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti PBNU adalah usulan revisi undang-undang UU No 15 tahun 2003.

Dalam UU No 15 tahun 2003, terdapat empat hal yang belum tercakup pembahasan hukumnya. Yakni mengenai penetapan pidana terhadap perbuatan yang mendukung aksi terorisme, perbuatan penyebaran kebencian, masuknya seseorang ke dalam organisasi terorisme, dan mengenai rehabilitasi pelaku terkait.

Mengenai penindakan terhadap perbuatan mendukung terorisme, baru sebatas penahanan sementara saja, itupun tidak lebih dari tujuh hari lamanya. Menurut saya, mereka yang diduga sebagai pendukung terorisme ada baiknya menjalani penyidikan lebih lama, guna menggali lebih dalam informasi-informasi terkait aksi terorisme. Kita perlu ingat bahwa terorisme adalah bentuk kejahatan transnasional yang sangat kompleks, sehingga membutuhkan waktu penyidikan yang sangat intens.

Adapun mengenai perbuatan penyebaran kebencian, saya melihatnya dari sudut pandang keterkaitan antara propaganda terorisme dan pertumbuhan pesat teknologi informasi. Saat ini propaganda dengan kebencian banyak terjadi di dunia maya karena kemudahan akses yang ditawarkannya. Otoritas pemerintah dalam menindak lanjuti terorisme di dunia masih lemah sehingga perlu dimasukkan ke dalam revisi undang-undang tindak pidana terorisme.

Sedangkan mengenai hal ketiga dan keempat terdapat keterkaitan satu sama lain. Ketika seseorang tergabung dengan aksi terorisme, baik sebagai simpatisan maupun anggota langsung, aparat keamanan tidak dapat langsung melakukan penangkapan kecuali mereka telah terbukti melakukan aksi yang merusak. Sebaiknya jika tersangka terorisme ini difasilitasi untuk direhabilitasi guna mengembalikan mindset kebangsaan Indonesia.
Saya berkeyakinan apabila Pemerintah menerima usulan BNPT, maka Teroris apapun benuknya tidak akan berkutik di Indonesia karena dasar hukum kuat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *