Prof. Dr. Irfan Idris, MA, Direktur Deradikalisasi BNPT

Membendung Transformasi Radikalisme-Terorisme

Prof. Dr. Irfan Idris, MA, Direktur Deradikalisasi BNPTMeski upaya penindakan dan pencegahan aksi terorisme telah dilakukan dengan sangat serius oleh pemerintah dan masyarakat, namun terorisme seakan tak pernah pupus. Patah tumbuh hilang berganti. Tertangkapnya tujuh perampok toko emas yang terkait terorisme pada Jumat (15/3) lalu menunjukkan bahwa kelompok teroris masih eksis di tengah-tengah kita.

Eksistensi kelompok teroris sejatinya tidak lepas dari regenerasi yang terus dilakukan dengan merekrut anggota-anggota baru yang disiapkan menjadi martir. Mereka merekrut anggota dengan berbagai cara, mulai dari pertemuan-pertemuan tertutup hingga propaganda melalui dunia maya. Di sanalah proses transformasi mengubah individu dari radikal menjadi teroris berjalan.

Menurut Fathali Maghoddam (2005), sebagaimana dikutip Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (2012), sedikitnya ada lima tangga kondisi yang mentransformasi individu menjadi teroris. Pertama,  individu mencari solusi tentang apa yang dirasakan sebagai perlakuan tidak adil. Kedua, individu membangun kesiapan fisik untuk memindahkan solusi atas persoalan tersebut dengan penyerangan. Ketiga, individu mengidentifikasi dengan mengadopsi nilai-nilai moral dari kelompoknya.

Keempat, orang yang telah masuk ke dalam kelompok teroris sangat kecil kemungkinan bisa keluar dari kelompok tersebut. Setelah melalui empat tangga sebelumnya, maka di tangga kelima, individu secara psikologis menjadi termotivasi untuk melakukan kegiatan-kegiatan terorisme. Maghoddam menyarankan, untuk mencegah aksi terorisme perlu mengenali apa yang menjadi penyebab atau situasi prakondisi terjadinya aksi terorisme.

Deradikalisasi

Berangkat dari pemahaman bahwa salah satu akar aksi terorisme adalah ideologi radikal yang diyakini individu/kelompok, maka pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mencanangkan program deradikaliasi. Secara sederhana, deradikalisasi dapat diartikan sebagai upaya penanganan terhadap kelompok/individu radikal agar menjadi tidak radikal. Usaha ini ditujukan bagi mereka yang sudah terlibat kegiatan terorisme, organisasi radikal, maupun masyarakat umum agar tidak tertular virus radikalisme dan terorisme.

Program deradikalisasi ditujukan sebagai usaha “harm reduction” yang ditujukan bagi segelintir anak bangsa yang telah terpapar dan tergabung secara aktif (kelompok inti dan militan) dalam melakukan aksi terorisme baik secara individu maupun kelompok dan mengatasnamakan agama. Pelaksanaan program deradikalisasi ini secara khusus dimaksudkan untuk membuka dan mengubah cakrawala berpikir yang semula fanatis sempit menjadi elegan dan berwawasan luas serta dapat menerima perbedaan.

Sejatinya, program deradikalisasi bukanlah hal baru bagi Indonesia. Sebelum berbagai aksi terorisme marak dan membuat geger masyarakat Indonesia, kita telah memiliki pengalaman dalam melakukan deradikalisasi terhadap kelompok Komando Jihad. Kini, setelah reformasi, Indonesia kembali menghadapi permasalahan radikalisme dari kelompok garis keras yang melakukan serangkaian aksi terorisme.

Program deradikalisasi dilakukan dengan melibatkan banyak pihak mulai dari  kementerian dan lembaga, Polri, TNI, perguruan tinggi, hingga masyarakat sipil seperti ormas dan LSM. Desain Deradikalisasi memiliki empat komponen yaitu reedukasi dengan memberikan pencerahan, rehabilitasi berupa pembinaan kemandirian dan kepribadian, serta resosialisasi dan reintegrasi para napi teroris di tengah masyarakat. Selain desain tersebut, hal yang penting dalam program deradikalisasi adalah  disengagement untuk memutus ikatan seorang anggota kelompok teroris dengan jaringannya.

Deradikalisasi juga dilakukan melalui jalur pendidikan dengan melibatkan perguruan tinggi. BNPT menggandeng sejumlah kampus seperti UIN Jakarta, Universitas Indonesia, UIN Malang, USU Medan, dan sejumlah kampus lainnya. Kampus dipilih sebagai salah satu pusat deradikalisasi karena beberapa pelaku terorisme adalah mahasiswa atau alumni perguruan tinggi. Melalui serangkaian kegiatan seperti public lecture, workshop, dan lainnya, mahasiswa diajak untuk berfikir kritis dan memperkuat nasionalisme sehingga tidak mudah menerima doktrin yang destruktif.

Kontra-radikalisasi, di sisi lain, dilakukan untuk memproteksi masyarakat umum yang belum terjangkiti radikalisme dengan melibatkan tokoh masyarakat, ormas, perguruan tinggi, dan lembaga swadaya masyarakat. Upaya tersebut dilakukan dengan menyelenggarakan Training for Trainer yang diikuti para pembina, pengasuh, dan pengajar pesantren. Tak hanya itu, dengan menggandeng ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama, Persis, LDII, dan lainnya, BNPT juga memberikan pembekalan bagi para dai/ustadz agar turut menyosialisasikan ajaran Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin.

Tantangan

Program deradikalisasi dilakukan dengan semangat untuk menegakkan empat pilar kebangsaan yang dapat menumbuhkan semangat nasionalisme serta tetap mempertahankan NKRI. Namun, pada praktiknya, program deradikalisasi tidaklah berjalan mulus. Sejumlah tantangan menjadi ujian program deradikalisasi, baik secara internal maupun eksternal. Secara internal kekurangan sumber daya manusia yang sangat terbatas, pemahaman yang beragam terhadap makna strategi dan sasaran yang akan dideradikalisasi, kemandirian pengelolaan program deradikalisasi masih belum maksimal, dasar hukum yang menjadi pijakan masih menggunakan peraturan Presiden, infrastruktur yang dimiliki belum sesuai dengan standar seperti fasilitas yang dimiliki Badan Negara lainnya.

Tantangan secara eksternal adalah sosialisasi akan bahaya yang ditimbulkan aksi terorisme dan penanggulangannya masih sangat minim, sehingga sebahagian masyarakat bahkan sebahagian kementerian dan lembaga menganggap bahwa hanya TNI, Polri, serta BNPT yang bertanggung jawab menanggulanginya. Sementara semua lapisan masyarakat menyadari bahwa aksi terorisme merupakan bahaya kemanusiaan. Tantangan eksternal lainnya adalah banyak kecurigaan yang dialamatkan kepada pelaksanaan program deradikalisasi di antaranya deradikalisasi dianggap sebagai upaya adu domba.

Kendati banyak tantangan yang dihadapi, namun yang pasti bila perhatian seluruh lapisan masyarakat menyatu dalam menghadapi bahaya aksi terorisme, kecurigaan dan kesalahfahaman dari berbagai kalangan dapat diluruskan, arogansi sektoral dari banyak kalangan juga dapat ditangkal. Slogan NKRI merupakan harga mati dapat dipertahankan sepanjang masa dan berkelanjutan dari masa ke masa. Semoga.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *