Sumber Foto : Duajurai.com

Membendung Paham Kekerasan Dengan Ajaran Agama yang Tidak Lupa Daratan

Dikotomi antara “agama langit” dan “agama bumi” tentu masih membahana dalam studi tentang agama, hanya saja dikotomi itu sepertinya kini mengalami pergeseran. Jika pada awalnya istilah “agama langit” dipahami sebagai agama yang asalnya dari langit, maka saat ini terma tersebut sepertinya lebih mengerucut pada makna agama yang hanya ‘untuk’ langit saja, bukan lagi ‘dari’. Imbas dari pemahaman ini adalah sikap abai terhadap segala hal yang berkaitan dengan bumi, seolah bumi tidak memiliki arti pentingnya lagi, karena segalanya kini hanya untuk langit.

Model-model agama yang disempitkan hanya untuk langit ini dapat dilihat dari berbagai perilaku nyeleneh para pengikutnya, dimana kebanyakan dari mereka terlalu mabuk surga hingga lupa untuk berbuat baik terhadap sesama. Tudingan-tudingan penyesatan hingga berbagai aksi kekerasan dijadikan semacam ritual keagamaan yang mereka yakini dapat menyenangkan Tuhan. Ragam budaya dan tradisi yang ada akan serta merta dimaknai sebagai bid’ah yang tidak patut dianut, sebaliknya, segala hal yang berbau surga harus diimani secara membabi buta. Tidak boleh bertanya apalagi mengkritik, itu semua khas manusia, makhluk bumi. Bagi mereka, laiknya malaikat yang selalu tunduk dan taat, bertanya adalah sebuah penghinaan terhadap ke-maha-besar-an Tuhan.

Agama lalu tampak begitu kaku dan menyeramkan di tangan para penggila surga ini, hidup hanya dihadapkan pada dua pilihan sempit; halal dan haram. Sementara Sunnah, Mubah, dan Makruh tidak pernah masuk dalam daftar pilihan. Sebagai upaya untuk menafikkan peran tradisi dan budaya dalam segala tetek bengek agama, mereka mengajak kita untuk sekalian saja melupakan dunia. meninggalkan keluarga, jual semua harta benda untuk kemudian bergabung dengan kelompok mereka yang –katanya sih— lebih dekat dengan surga.

Model keberagamaan seperti di atas perlahan namun masti menimbulkan permasalahan sendiri. Keacuhannya terhadap kehidupan dunia telah menggiring mereka untuk membenci dan bahkan memusuhi sesama. Banyak hal yang sebenarnya sepele mereka buat bertele-tele, perbedaan dijadikan pembenaran untuk melakukan kekerasan. Hal ini tentu, tidak bisa dibiarkan.

Antitesa untuk masalah di atas adalah dengan menarik mereka-mereka yang kini sedang melayang-layang di awan untuk kembali menjejakkan kaki di tanah. Memahami bahwa agama diturunkan untuk manusia, bukan untuk Tuhan. Karenanya yang perlu kita lakukan saat ini adalah membumikan ajaran langit, yakni dengan mengamalkan ajaran-ajaran langit tersebut untuk kehidupan bumi yang lebih baik. kehidupan bumi bukan hanya terbatas pada manusia saja, tetapi juga binatang dan seluruh elemen jagat raya.

Mengutip pemikiran besar Prof. M Quraish Shihab tentang hal ini, ia menyatakan jika ajaran agama hanya ditempatkan pada ranah langit semata, maka ajaran itu akan anti terhadap kajian ilmiah. Akhirnya, kitab suci hanya menjadi bacaan saja, dimana keistimewaan dan keagungannya hanya tertahan pada huruf, ritme, dan nada bacaan semata. Ia tidak pernah bisa menggerakkan jiwa.

Membumikan agama langit berarti pula menikmati dan mensyukuri agama dalam segala keterbatasan manusia, karenanya tradisi dan budaya harus dipahami sebagai cara Tuhan dalam menterjemahkan maksud-Nya yang terkadang memang tidak mudah diterima dengan akal semata.

Dalam konteks keagamaan di Indonesia, upaya membumikan agama telah dilakukan dalam banyak hal, beberapa yang paling populer tentu melalui peran Wali Songo, Ulama, dan lembaga pendidikan pesantren. Di pesantren misalnya, para pakar agama tidak pernah berhenti menggodok metodologi dan strategi dakwah yang bertujuan untuk memberikan pemahaman dan penerapan ajaran agama yang universal, serta mudah diterima dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Sehingga agama tidak tampak begitu menakutkan dan membuat orang seolah hidup dalam ancaman.

Dengan tetap menjaga dan melestarikan tradisi dan budaya dalam persandingannya dengan agama, berarti kita sudah berusaha untuk menjalankan ajaran langit tanpa perlu membuat mata dan hati menjadi sakit. Karena tentu, kita bisa mencintai Tuhan tanpa harus lupa daratan!