Bagaimana mungkin di tengah kesucian Bulan Ramadhan dan Idul Fitri, masih ada orang yangmelakukan rangkaian kejadian bernuansa teror seperti bom di Vihara Ekayana, penembakan sipir LP Wirogunan serta pembunuhan Aparat Kepolisian di Ciputat?
Pelaku teror seakan gagal memaknai melimpahnya rasa syukur umat Islam di seluruh dunia menjelang datangnya hari kemenangan. Perbuatan yang bertentangan dengan ajaran seluruh agama tersebut menjadi indikasi serius bahwa masih ada orang sesat pikir yang menyebut pengeboman dan pembunuhan adalah cara untuk mencapai tujuannya.
Apapun motif dari pelaku bom dan pembuhan tersebut, tujuan terorsebenarnya bukan untuk membunuh, melainkan menakuti, menyebarkan rasa takut yang meluas kepada masyarakat. Korban yang jatuh, baik luka-luka atau meninggal hanya dianggap sebagai “ketidakberuntungan” yang tidak terhindarkan.
Untuk dapat memaknai Idul Fitri, kita, termasuk siapapun yang mendalangi aksi teror tersebut, harus mampu mendengar, melihat dan merasakan makna filosofis dari Bulan Ramadhan dan Idul Fitri yang penuh kasih dan kedamaian.
Mendengar
Gema adzan dan takbir di seluruh penjuru negeri adalah manifestasi mendengar sebagai sebuah perwujudan rasa syukur atas segala nikmat yang diberikan dan disampaikan ke hari kemenangan. Kemampuan mendengar telah dimiliki oleh manusia, bahkan sejak di dalam janin jauh sebelum kita mampu melihat. Kemampuan inilah yang harus terus diasah agar kita mau dan mampu mendengar untuk kebaikan.
Pelaku teror tidak mampu mendengar seruan untuk menjadi rahmat bagi sekalian alam. Bagi mereka, seruan untuk hidup rukun dan damai mungkin tidak mampu menembus gendang telinganya. Seruan untuk menggunakan kekerasan, membunuh dan menakuti orang lain mungkin menjadi satu-satunya yang didengar oleh pelaku ketika membawa dan meledakkan bom di vihara tersebut.
Bulan Ramadhan mengajarkan kita untuk lebih banyak mendengar. Ceramah tarawih setiap malam, tadarus Al-Quran serta pengajian subuh adalah berbagai ibadahyangdilakukan agar kita terus berupaya mengamalkan kebaikan danmencegah diri sendiri, keluarga, dan lingkungan kita dari kemunkaran.Mendengar juga melatih diri kita untuk menahan diri, agar tidak merasa hanya diri kita yang paling benar walaupun kita sadar bahwa kebenaran hakiki sudah jelas hanya milik Allah SWT, Tuhan YME. Jika filosofi mendengar ini dipahami oleh pelaku, niscaya peristiwa teror tidak akan terjadi.
Melihat
Bulan Ramadhan mengajarkan kita untuk lebih banyak melihat dan membaca tanda-tanda kebesaranNya melalui berbagai ibadah ritual seperti berpuasa, sholat tarawih, i’tikaf sertaibadah sosial seperti bersedekah, menyantuni fakir miskin dan anak yatim.
Makna melihat adalah untuk mengetahui, memahami dan saling menghargai satu sama lain.Hal ini pentinguntuk menyikapi realitakemajemukan di Indonesia yang sudah menjadi ketetapan dan menjadi tanda kebesaranNya. Pemahaman keagamaan secara paripurna akan membantu kita melihat keberagaman sebagai suatu rahmat dan bukan laknat.
Filosofi melihat yang menghargai keragaman, tercermin jelas di Bulan Ramadhan yangselalu identik dengan perintah untuk menjalin silaturahim dan saling bermaafan.Kita diperintahkan untukmeminta maafkepada keluarga, saudara serta tetangga yang sangat mungkin tersakiti oleh ucapan maupun perbuatan kita, apapun agamanya, suku maupun etnisnya. Hal ini adalah pemaknaan mendalam yang hanya bisa dipahami jika kita memandang keberagaman secara positif.
Oleh karena itu, sudah seharusnya Ramadhan dan Idul Fitrimembawa makna agar kita memiliki cara pandang, pola pikir dan tata laku dalam pergaulan saling menghargai sesama anak bangsa. Dalam hal ini, Negara harus hadir dan mampu mewudkan kesejahteraanserta melindungi rakyat, sedangkan rakyat harus mampu menjaga kerukunandan memaksimalkan potensi yang dimiliki guna mewujukan tujuan bangsa ini bersama-sama dengan negara.
Merasa
Hati bertugas untuk merasakan dan menanamkan nilai kebaikan dalam pikiran, perkataan dan perbuatan.Bulan Ramadhan melalui ibadah puasa, mengajarkan kita untuk menahan lapar, dahaga, hawa nafsu dan amarah. Hal ini sejalan dengan tujuan berpuasa agar kita senantiasa meningkat ketaqwaannya.
Ciri orang yang memaknai ketaqwaan adalah tidak mungkin menyakiti, melukai, menakut-nakuti dan menggunakan kekerasan kepada saudara sebangsanya baik melalui pikiran, perkataan apalagi perbuatan. Bahkan dalam ajaran agama Islam diajarkan bahwa, membunuh seorang manusia tidak bersalah seakan-akan membunuh manusia seluruhnya dan barangsiapa memelihara kehidupan seorang manusia maka seakan-akan dia memelihara kehidupan semua manusia.
Prinsip ajaran agama di atas tentunya tidak dimiliki oleh para pelaku teror yang dengan mudah berperan sebagai pencabut nyawa orang-orang yang berbeda dengan dirinya. Melalui momentum Ramadhan, terorisme harus kita lawan bersama, agar tidak ada lagi korban yang jatuh akibat perbuatan keji dan tidak bertanggung jawab ini.
Refleksi
Makna dan filosofi Bulan Ramadhan dan Idul Fitri yang baru saja kita lewati adalah suatu wahana bagi kita semua untuk mendengar, melihat, merasakan dan mensyukuri nikmat Tuhan yang tiada tara dalam kehidupan sehari-hari. Tugas mulia untuk mencegah terorisme hanya dapat dilakukan oleh orang yang hatinya dapat mendengar, melihat dan merasakan makna Ramadhan dan Idul Fitri tersebut. Dibutuhkan adanya kesadaran penuh bahwa pada akhirnya nanti, kita (saya)dan (tentunya) si pelaku teror, akan dimintai pertanggungjawaban oleh Sang Pemilik Kehidupan. Jangan sampai kita kembali padaNya tanpa ilmu yang diamalkan, tanpa mendengar yang baik dan bermanfaat, tanpa melihat untuk kebaikan dan tanpa merasa bahwa kita adalah rahmat bagi sekalian alam. Selamat Idul Fitri 1434 H.
[1]PenulisadalahDeputi Bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi BNPT.