Masyarakat Diminta Berperan Menjaga Siswa dari Kegiatan Radikalisme

Jakarta- Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) mengajak para orang tua beserta masyarakat agar sama-sama peduli terhadap penguatan pendidikan karakter anak. Direktur Pembinaan SMA Kemdikbud Purwadi Sutanto mengatakan, kepedulian harus dilakukan untuk membantu sekolah memantau kegiatan anak di luar sekolah.

Hal itu diungkapkan dalam sambutannya pada seminar ‘Penguatan Sekolah Melalui Kebijakan Internal Sekolah yang Menyemai Kebhinnekaan’ di Hotel Mercure, Cikini, Jakarta Pusat, Selasa (23/5/2017). “Saya memberikan motivasi ke sekolah, belum tentu anak ini di sekolah baik-baik saja. Tapi yang di luar sekolah ini, ini yang tidak baik,” ujarnya.

Purwadi juga menyinggung radikalisme yang saat ini mulai masuk ke sekolah-sekolah. Kemdikbud, katanya, telah menyiapkan ‘senjata’ untuk menghalau radikalisme di kalangan anak sekolah, khususnya SMA. “Kami juga sudah mengeluarkan Permendikbud nomor 23 tentang Penguatan Karakter. Nah ini harus kita sikapi,” katanya.

Purwadi meminta masyarakat secara bersama-sama berperan menjaga siswa SMA agar tidak terjerumus ke hal-hal yang berkaitan dengan radikalisme. Salah satunya, ikut membekali siswa SMA dengan peraturan dari pemerintah yang kini sudah mengatur tentang kegiatan yang berkaitan dengan pendidikan karakter.

“Kita harus bersama-sama terutama menyelamatkan anak-anak kita terutama yang ada di SMA. Mereka harus kita bekali, kita selamatkan supaya tidak terjerumus dengan hal-hal mereka sendiri. Permendikbud sudah kita masukkan semua kegiatan yang untuk memperkuat pendidikan karakter mereka,” ucap Purwadi.

Seminar yang diselenggarakan Maarif Institute tersebut dihadiri pemerhati Pancasila Yudi Latif, Direktur Pendidikan Yayasan Sukma Ahmad Baedowi, Direktur Eksekutif Maarif Institute Muhammad Abdullah Darraz, dan dihadiri perwakilan sekolah 22 dari beberapa kota di Indonesia.

Abdullah berharap melalui forum seminar tersebut bisa memperoleh hasil untuk menangkal ideologi anti-kebhinnekaan. Abdullah memandang ideologi anti-kebhinnekaan atau yang menurutnya idelogi khilafah tak hanya masuk ke level pendidikan, tapi juga ke level birokasi di sekolah.

“Saya berharap bahwa 22 sekolah ini menjadi sekolah percontohan. Selama 3 hari kita merumuskan bersama. Bagaimana kita merumuskan di tingkat sekolah untuk menangkal ideologi anti-kebinnekaan. Selama ini masuk bukan ke level pendidikan, tapi level birokrasi. Kalau boleh saya katakan, ideologi khilafah,” ucap Abdullah.