Antara tahun 2008-2009 saya ditanya oleh salah seorang mahasiswa kepasturan di Yogyakarta, “Kalau Indonesia dijadikan negara Islam, apakah kita semua (dia dan teman-temannya di fakultas Theologi) akan dijadikan Muslim?” bagi saya, pertanyaan ini sebenarnya adalah bentuk kekhawatiran, dan hal itu tentu beralasan, terutama setelah Islam kerap ditampilkan secara serampangan oleh kelompok-kelompok ekstrimis lewat ragam tindak dan pemikiran yang tidak berorientasi pada kebaikan dan perbaikan umat. Pemahaman yang tidak tepat tentang Islam nyatanya memang lebih mendominasi. Dengan demikian ‘ide’ tentang pendirian negara Islam dalam bayangan beberapa orang bermakna “peng-Islam-man seluruh Indonesia”.
Kekhawatiran terhadap Ide pendirian negara Islam boleh jadi disebabkan karena tiga alasan utama. Pertama, sebagai agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk Indonesia, Islam nyatanya tidak serta merta menjadi nama tunggal bagi seluruh keragaman yang ada antara pemeluknya. Para pemeluk agama Islam hingga saat ini masih terlalu sibuk memperebutkan klaim kebenaran, seolah hanya golongan mereka saja yang paling benar. Problem otentisitas keislaman masih menjadi masalah serius, sekelompok Muslim tak jarang merasa paling benar dibanding kelompok Muslim lainnya. Sehingga, ketika ide tentang pendirian negara Islam digulirkan, pertanyaan yang muncul adalah, “Islam versi kelompok yang mana ini?”
Kedua, Islam tidak memiliki konsep pasti tentang pendirian sebuah negara. Kalaupun ada konsep negara dalam Islam, hal itu bersifat dzhonni (sesuatu yang tidak pasti) dan sebatas intreperasi atas kitab suci saja. Alquran tidak pernah secara qoth’i (pasti) menyebut Islam sebagai model negara (Daulah Islamiyah). Itu artinya detail teknis negara tak pernah diurai dalam kitab suci. Adapun konsep negara yang dibicarakan hanyalah sebatas prinsip baldatun thoiyibah wa rabbun ghafur, sebuah negara yang baik dan penuh dengan ampunan Tuhan.
Karenanya, perdebatan soal perlukah mendirikan negara agama di Indonesia berarti mengulang perdebatan panjang yang boleh jadi justru menimbulkan konflik dan membahayakan persatuan bangsa. Apalagi faktanya, konsep negara agama yang kini sedang ‘dioperasikan’ di Timur Tengah tidak jauh-jauh dari urusan darah, kematian dan perang.
Ketiga, munculnya kecenderungan untuk menafikan peran umat agama lain dalam setiap usaha menuju kebaikan dan kemajuan bersama. Seolah semua kemajuan dan kemegahan yang pernah menghiasi sejarah peradaban merupakan hasil kerja keras umat Islam semata, sementara umat agama lain hanyalah masyarakat pasif yang harus selalu berterimakasih kepada umat Islam. Hal ini tentu sangat mengerikan, selain karena klaim di atas tidak sesuai dengan fakta, keyakinan bahwa hanya umat Islam saja yang paling berjasa justru dapat berpotensi menumbuhkan sikap apatis dan bahkan anti terhadap non-muslim.
Sebagai seorang muslim, saya yakin bahwa agama menuntun kita untuk menebar kebaikan dan menyemai persaudaraan. Segala bentuk kekerasan, bahkan yang mengatasnamakan agama sekalipun, tentu tidak dapat dibenarkan. Kita sadar bahwa ada kelompok-kelompok yang sengaja membelokkan makna dan semangat utama ajaran agama, mereka berusaha mengelabuhi kita dengan mengajak kita untuk akrab dengan kekerasan dan permusuhan. Mungkin mereka mengira bahwa kekerasan dan permusuhan dapat menyenangkan Tuhan.
Saya ingin mengakhiri tulisan ini dengan sebuah kutipan dari R.A Kartini yang mengatakan, “Agama memang menjauhkan kita dari dosa, tapi berapa banyak dosa yang kita lakukan atas nama agama!?”