Jakarta — Badan Nasional Penanggulangan Terorisme mencatat setidaknya terdapat 159 warga negara Indonesia yang sudah bergabung ke kelompok ekstrim Negara Islam untuk Irak dan Suriah (ISIS). Deputi Pembinaan Kemampuan BNPT Brigadir Jenderal Rudi Sufahriadi berkata, sebagian kecil dari jumlah tersebut sudah kembali ke Indonesia dan berpotensi memberikan ancaman teror kepada masyarakat.
Rudy merujuk pernyataannya itu pada ledakan di ITC Depok, Jawa Barat, akhir Februari lalu. Sebagaimana dinyatakan otoritas Detasemen Khusus Antiteror 88, ledakan tersebut mengandung zat berbahaya seperti klorin. Rudy menduga, WNI yang baru kembali dari markas ISIS di Suriahlah dalang di balik kejadian tersebut.
“Ini bom yang belum berhasil dan belum meledak sempurna. Ini pasti oleh-oleh dari sana. Kami dan teman-teman Densus sedang meraba,” ujar bekas Kepala Kepolisian Resor Poso itu di kawasan Tebet, Jakarta, Rabu (13/5).
Rudy memaparkan, rangkaian peledak di ITC Depok tersebut disusun dengan sangat amatir dan teburu-buru. Ia berkata, hal tersebut berbeda dengan aksi-aksi yang dirancang WNI lulusan Afganistan. (Baca juga: Buku Panduan Terbaru ISIS Sarankan Militan Bawa Kondom)
Meski demikian, Rudy mengatakan ledakan di ITC Depok sudah cukup membuktikan ancaman nyata yang diberikan pengikut ISIS. “Kalau yang merangkai bekas Afganistan, hancur kita. Minimal buta,” katanya.
Terkait hal ini, Rudy tak memungkiri kebutuhan akan peraturan perundang-undangan yang dapat digunakan untuk menangkal aksi para pengikut lembaga radikal baru. Hingga berita ini diturunkan, Rudy mengatakan lembaganya pada tahun 2015 sudah tiga kali menggelar pertemuan dengan para ahli hukum.
Kesimpulannya, mereka tidak menemukan satupun aturan hukum yang dapat menjerat pengikut ISIS, baik dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dan Undang-Undang Keimigrasian. (Baca juga: Wilayah ISIS Dikabarkan Terserang Penyakit Kulit Mematikan)
Ia menuturkan, entah melalui peraturan presiden pengganti undang-undang maupun revisi undang-undang, aturan baru soal pemberangusan lembaga radikal sangat dibutuhkan secepatnya.
“Mana yang paling baik, tercepat, yang bisa mengantisipasi itu. Karena saudara kita akan pulang dan membawa ajaran luar biasa ke sini. Tapi belum ada alat hukumnya,” ucap Rudy. (sip)