Eks Napiter Berbagi Pengetahuan Tentang Bahaya Radikal Terorisme Kepada Murid SMA di Tarakan

Tarakan – Dalam upaya meningkatkan kesadaran dan mencegah
berkembangnya paham radikalisasi dan terorisme di kalangan anak muda,
Menara Institusi kembali menggelar diskusi kebangsaan digelar di Aula
SMAN 2 Tarakan pada Jumat akhir pekan lalu.

Diskusi ini menghadirkan langsung narasumber berkompeten mantan
narapidana terorisme (napiter) Ustadz Mustagfirin salah satu pentolan
Bom Bali yang kini aktif dalam kegiatan deradikalisasi dan pencegahan
radikalisasi.

Acara yang dihadiri oleh ratusan peserta, terutama dari kalangan
pelajar, mahasiswa, dan organisasi pemuda, bertujuan untuk memberikan
perspektif langsung dari eks napiter mengenai bagaimana mereka
terjerumus dalam paham radikal, serta bagaimana mereka berhasil keluar
dan menjalani proses rehabilitasi.

“mantan napiter berbagi pengalaman mereka, memberi pengetahuan tentang
bahaya pemikiran ekstrem dan bagaimana hal tersebut dapat menyusup ke
dalam kalangan muda”, jelas Andrie Aristyanto selaku Ketua Menara
Institute.

Andrie juga menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah,
masyarakat, dan keluarga dalam membangun ketahanan ideologi pada
generasi muda.

“Anak muda harus dibekali dengan pemahaman yang kuat tentang
nilai-nilai kebangsaan, toleransi, dan keberagaman. Mereka perlu
diberi ruang untuk berdialog dan berpikir kritis, agar tidak mudah
terpengaruh oleh paham yang bertentangan dengan Pancasila,” ujarnya.

Sementara itu narasumber, Mustagfirin seorang mantan napiter yang kini
aktif dalam program deradikalisasi, menyampaikan bahwa penyebaran
paham terorisme sering kali dimulai dari ketidakpastian dan rasa tidak
puas terhadap kondisi sosial-politik, ekonomi hingga masalah internal
keluarga.

 “Saya dulu terpanggil karena menonton video pembantaian-pembantaian
umat muslim dan merasa harus ikut membela. Saya berdoa semoga bertemu
dengan kelompok Nurdin M Top dan Dr. Azhari dan Allah kabulkan. Namun,
melalui pendampingan, kita bisa memahami bahwa tindakan terorisme
tidak hanya merugikan diri sendiri, tetapi juga keluarga dan bangsa,”
ujarnya.

Diskusi ini juga mencakup sesi tanya jawab dengan peserta, di mana
para anak muda diberikan kesempatan untuk bertanya langsung kepada
mantan napiter dan tokoh ahli. Beberapa peserta mengungkapkan
keprihatinannya mengenai maraknya penyebaran ideologi radikal di media
sosial yang seringkali menyasar remaja.

“Penting untuk menyaring informasi yang diterima, terutama di media
sosial. Dunia maya sangat rentan menjadi ajang penyebaran paham
radikal. Kami berharap pemerintah dan masyarakat bisa lebih aktif
dalam memberikan edukasi terhadap anak muda tentang bahaya ini,” kata
Jemmy seorang mahasiswa yang ikut hadir dalam acara tersebut.

Di akhir acara, pihak penyelenggara berharap agar kegiatan semacam ini
dapat terus dilaksanakan di berbagai daerah untuk menciptakan generasi
muda yang lebih kritis, memiliki wawasan kebangsaan yang luas, serta
dapat menangkal paham-paham ekstrem yang berbahaya bagi keutuhan
negara.