Jakarta – Para ulama, tokoh agama atau penceramah sangat penting untuk menjaga etika dalam berdakwah di era digital ini. Jika para ulama tidak mencontoh hal yang baik, dan tidak berhati hati dalam berdakwah, maka ini bisa mengurangi esensi nilai keislaman, dan dapat mendegradasi pendakwah itu sendiri.
Hal itu dikatakan Ketua Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI), Dr. KH. Ahmad Zubaidi, MA di Jakarta, Jumat (13/12/2024). Ia mengkhawatirkan kondisi diatas akan dimanfaatkan oleh para kelompok yang tidak bertanggung jawab, untuk saling mengadudomba umat Islam maupun organisasi, dengan tujuan menciptakan konflik.
“Konteksnya supaya dakwah kita ini bisa terus berjalan dengan baik dan juga tentu agar para dai kita tetap diapresiasi oleh masyarakat,” ucap Kiai Zubaidi.
Menurut akademisi Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta ini, dakwah harus mengedepankan bahasa yang baik, sopan, dan mendidik, dengan tujuan memberikan contoh yang baik kepada umat. Oleh karena itu, etika, adab atau tata krama, adalah pendidikan dasar yang harus dimiliki para dai disamping pendidikan ilmu.
Kiai Zubaidi mengatakan, kalau hanya mengedepankan ilmu tanpa adab, maka bisa jadi akan menimbulkan sikap sombong dan angkuh dalam berdakwah.
“Kalau sudah punya tata krama, adab, etika akhlak insyaallah ilmunya nanti juga akan bisa bermanfaat lagi, dan dia akan memiliki tinggi dengan berkarakter yang baik,” katanya.
Oleh karena itu, Kiai Zubaidi menyerukan para dai, penceramah, muballigoh harus berhati-hati dalam berdakwah, karena bahasa-bahasa yang tidak baik itu tentulah akan melukai mad’u atau objek dakwahnya, sedangkan dalam berdakwah seharusnya justru memberikan perhatian, memberikan kasih sayang dengan nilai nilai Islam yang luhur.
Sosok yang juga menjabat sebagai Wakil Ketua Badan Wakaf Indonesia (BWI) ini mengungkapkan seorang ulama atau dai seyogyanya terus belajar, dan memperdalam ilmu dakwahnya. Penting bagi para dai untuk menyesuaikan dengan kemajuan zaman, teknologi dan juga karakter para jamaahnya.
“Tolong jangan hanya instan, jangan hanya ingin jadi penceramah, pidato tok!” tegas Kiai Zubaidi.
Kiai Zubaidi menekankan penting juga untuk berlatih public speaking, retorika dakwah atau sisi humor untuk membumbui dakwah agar tidak kaku. “Tolong juga mulai mempelajari mulai berlatih untuk ceramah dengan gaya-gaya yang di dalamnya ada humor yang baik, sehingga insyaallah nanti semakin lama akan mumpuni ilmunya,” tambahnya.
Ia mengakui bahwa humor dalam dakwah itu diperlukan, tanpa humor tentu jamaah bisa bosan dan tidak tahan lama. Namun, humor yang diberikan oleh seorang dari haruslah humor yang bernilai tinggi, berbudaya dan mengedepankan etika yang ada dalam Islam, tidak boleh asal membuat orang tertawa, apalagi digunakan bahasa yang tidak baik.
“Nabi juga seorang yang juga bisa bercanda dalam berbagai interaksi dengan para sahabat, namun itu tadi candaan-candaan yang kita buat itu humor-humor yang tetap berkoridor berdasarkan etika, berdasarkan rasa menghormati orang lain.”
Di samping itu, Kiai Zubaidi mengatakan, sekarang ini ceramah tidak hanya didengar atau dilihat oleh jamaah di masjid atau di kampung saja. Tapi dengan adanya kemajuan teknologi, dan sosial media, materi ceramah bisa disebarluaskan ke seluruh dunia. Oleh karena itu, prinsip kehati-hatian sangat diperlukan ketika berbicara di depan publik.
“Aspek kehati-hatian harus ditonjolkan, tidak saja karena faktor kekhawatiran akan dipublikasikan dimana-mana, tapi juga memang etika Islam mengajarkan demikian,” tandas KH Ahmad Zubaidi.