Jakarta — Mantan narapidana terorisme sekaligus eks anggota Negara Islam Indonesia (NII), Roki Apris Dianto, memaparkan pandangannya mengenai upaya pencegahan radikalisme pada anak dalam sebuah Focus Group Discussion (FGD), Rabu (3/12).
Roki menegaskan bahwa ancaman radikalisme terhadap pelajar masih harus menjadi perhatian serius. Ia menyinggung kembali insiden ledakan di SMAN 72 sebagai contoh nyata bahwa kelompok radikal dapat menyasar anak-anak tanpa pandang usia.
Menurut Roki, anak sekolah kerap menjadi target empuk karena sifat mereka yang polos, mudah percaya, dan rentan menerima doktrin.
“Ketika saya masih berada dalam jaringan radikal, anak-anak usia sekolah memang menjadi sasaran rekrutmen,” ujarnya.
Ia menekankan bahwa lingkungan pergaulan merupakan faktor dominan yang membentuk cara pandang anak. Lingkungan yang sehat akan mendorong anak mencari konten positif di internet. Namun, pergaulan yang buruk dapat menyeret anak mengonsumsi konten ekstrem di media sosial. Karena itu, Roki meminta orang tua lebih aktif mengawasi aktivitas dan pergaulan anak.
Terkait kasus bom SMAN 72, Roki turut menyoroti adanya tulisan pada senjata pelaku, yang menurutnya menunjukkan indikasi kuat adanya pola ajaran terselubung. Ia menduga bahwa pola-pola seperti itu masih beredar, termasuk teknik penyamaran yang dulu diajarkan di jaringan NII.
“Terorisme itu seperti ketapel atau tsunami — tak terlihat tanda-tandanya, tapi saat muncul, dampaknya sangat besar,” kata Roki.
Ia mengimbau masyarakat untuk terus meningkatkan kewaspadaan demi melindungi anak-anak dari paparan ideologi ekstrem.
Menutup pemaparannya, Roki menyampaikan pesan moral dengan mengutip ajaran Sultan Agung Hanyokrokusumo: “Mangasah mingising budi memasuh malaning bumi,” yang diartikan sebagai ajakan untuk mengasah budi pekerti guna membersihkan berbagai bentuk kemudaratan di dunia.
Damailah Indonesiaku Bersama Cegah Terorisme!