Jakarta – Media-media Barat terutama Amerika Serikat (AS) dinilai tidak adil dalam memberitakan masalah Islam dan terorisme. Media barat cenderung mengabaikan pilih kasih, dimana mereka selalu membesar-besarkan kasus terorisme yang korbannya non-Muslim. Sementara kasus terorisme dengan korban Muslim, tidak mendapat porsi pemberitaan yang besar.
Kesimpulan itu adalah hasil penelitian yang dilakukan oleh Mohamad Elmasry, Associate Professor Studi Media dan Budaya di Institut Doha untuk Program Pasacasarja. Ia menulis sebuah opini dengan judul “Bagaimana Surat Kabar AS Mengabaikan Muslim Sebagai Korban Terorisme”.
Dalam tulisannya, Mohamad Elmasry menduga adanya standar ganda dalam peliputan berita terorisme yang dilakukan media AS. Bersama dengan rekannya, Mohammed El-Nawawy, dia mendalami dugaan ketidaksesuaian dalam laporan surat kabar AS tentang korban terorisme Muslim dan non-Muslim.
Bahkan, sebelum melakukan penelitian, dia telah mencari rujukan untuk mendapat data. Sayangnya, dia mengaku, tak menemukan penelitian yang empiris.
“Anehnya, hampir tidak ada penelitian empiris mengenai fenomena ini,” kata Mohamad Elmasry dalam tulisannya yang dipublikasikan Middle East Eye, Selasa (16/6/2020).
Dalam penelitiannya, dia menelusuri lima serangan teroris besar. Adapun rinciannya, yakni tiga kejadian di Ankara, Turki, dan Maiduguri, Nigeria yang menyasar masyarakat mayoritas Muslim. Dua lainnya terjadi di kota-kota besar di Barat yang menyasar mayoritas non-Muslim, di Paris dan Brussels.
“Semua terjadi dalam rentang enam bulan di akhir tahun 2015 atau awal 2016,” kata dia.
Tiga serangan yang dilakukan di Turki dan Nigeria pada mayoritas Muslim, menghasilkan berita atau artikel yang sangat sedikit dimuat di surat kabar elit AS. Padahal, serangan itu telah mengakibatkan lebih banyak korban.
Sementara, berita yang meliput para korban terorisme non-Muslim di Paris dan Brussels menghasilkan liputan sekitar sembilan kali lipat dibanding artikel yang meliput para korban terorisme Muslim di Ankara dan Maiduguri.
Serangan di Ankara dan Maiduguri telah menelan 222 korban jiwa hanya menghasilkan 72 artikel yang diberitakan surat kabar AS selama lima hari. Sementara, dua serangan di Paris dan Brussels dengan jumlah korban 165 jiwa, menghasilkan 641 artikel selama lima hari.
“Artikel yang meliput korban non-Muslim juga lebih besar (rata-rata), menghasilkan lebih banyak foto, dan lebih mungkin membuat halaman depan surat kabar,” kata dia.
Selain itu, surat kabar AS mengemas pemberitaan dengan gaya bahasa yang berbeda tentang serangan maupun korban Muslim dengan non-Muslim. Serangan terhadap masyarakat non-Muslim dibingkai hampir secara eksklusif sebagai tindakan terorisme. Sementara serangan terhadap masyarakat mayoritas Muslim sebagian besar dibingkai sebagai “konflik internal”.
“Tak kalah penting, hasil menunjukkan bahwa korban terorisme non-Muslim lebih mungkin untuk dimanusiakan dan dipersonalisasi daripada korban Muslim,” jelas dia.
Kelima serangan yang dianalisis mendefinisikan pemahaman secara teks mengenai terorisme. Begitupun yang dialami umat Islam.
Dua realitas dapat mengendalikan potensi yang mengacaukan variabel. Dengan dimasukkan kejadian di Ankara, -bagian dari Eropa, membantu mengendalikan kedekatan geografis dengan AS.
Dia menyimpulkan, tak satu pun yang melakukan konspirasi yang terorganisir terhadap Muslim. Sebaliknya, terdapat sejumlah alasan yang membantu menjelaskan mengapa media berita AS lebih cenderung memperhatikan dan memanusiakan orang kulit putih, non-Muslim, korban tragedi dan bencana di Barat.
Dia menyebut, wartawan media AS seringkali bersikap defensif tentang tuduhan standar ganda dan memberikan sejumlah justifikasi untuk pola liputan. Kendati demikian, Mohamad Elmasry mengaku sikap defensif dapat dimengerti dengan alasan junlah produksi berita maupun masalah lain di luar profesi.
“Tapi paling tidak, organisasi berita AS harus menyadari bahwa ada masalah yang harus diatasi. Dari sana, kemajuan dapat dibuat,” kata dia.