Serangan serius dan berbahaya serta berani mati dari kelompok teror di Indonesia ditandai dengan aksi bom bunuh diri ke Polres Poso pada Senin pagi (3/6/2013). Walaupun serangan tidak menyebabkan timbulnya korban dikalangan polisi, tetapi aksi pemboman telah menunjukkan bahwa masih adanya orang-orang muda berfikiran radikal, sudah terkontaminasi dan siap mati sebagai pengantin.
Pesan teroris jelas, mereka masih eksis dan menempatkan polisi sebagai prominent target. (Baca ulasan penulis “Teroris Menyerang Polres Poso dengan Bom Bunuh Diri”, http://ramalanintelijen.net/?p=6938). Beberapa kalangan mengatakan bahwa kerasnya penanganan Densus dan tidak efektifnya langkah deradikalisasi yang ditangani oleh BNPT merupakan penyebab munculnya kembali serangan teror bom.
Menanggapi tanggapan masyarakat atas peristiwa tersebut, Kepala BNPT Ansyaad Mbai mengatakan tidak terima jika maraknya kasus terorisme yang terjadi akhir-akhir ini karena gagalnya program deradikalisasi. Menurut dia, permasalahan teroris terjadi karena Undang-Undang yang tidak tegas. Ansyaad mengatakan, teroris yang menggunakan metode bom bunuh diri sangat sulit dicegah, mereka bertindak di luar akal sehat, sehingga sulit dideteksi. ”Bunuh diri cari mati, tidak ada yang bisa cegah orang cari mati, tidak mungkin terjangkau dengan deradikalisasi,” kata Ansyaad disela-sela rapat kerja dengan Komisi III DPR, Jakarta, Senin (10/6/2013).
Dalam beberapa kesempatan, BNPT menyatakan beberapa hal yang prinsip dan mendasar tentang terorisme di Indonesia. Agar pembaca mendapat gambaran lebih jelas, penulis menyampaikan updating beberapa peristiwa yang menyangkut vonis terhadap teroris, strategi BNPT, penangkapan teroris, khususnya pada bulan Juni 2013. Inilah beberapa informasi intelijen dari sisi the present.
Sidang dan Vonis Terhadap Pelaku Teror
14 Teroris di sidang di PN Jakarta Utara
Pada hari Senin (10/6/2013), sebanyak 14 terdakwa teroris menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Para pelaku teroris ini dari Grup Solo dan Madiun. Dari lima terdakwa grup Madiun terdiri dari Hari Budiyanto, Harun Nurosyid, Sugimin Bin Sarmin, David Kurniawan, dan Ahmad Widodo. Kelimanya masih memasuki agenda dakwaan. Dari 9 orang grup Solo, yaitu Ahmad Azhar Basyir, Agus Anton Figian, Bambang Darmanto, Winduro Alias Hamam, Ali Zaenal Abidin, Iksan Adriyanto, Thony Anggara Putra, Roki Aprisdianto, dan Fery Susanto, kesembilannya dalam agenda saksi.
Yang menonjol dan ketat pengamanannya, dilakukan terhadap Roki Aprisdianto alias Atok. PN Jakarta Utara mendakwa Roki Aprisdianto alias Atok Prabowo dengan ancaman hukuman mati. Atok diketahui pernah melarikan diri dari tahanan Polda Metro Jaya dengan menyamar sebagai wanita. Atok pernah divonis 6 tahun penjara. Namun setelah dia dipenjara selama dua tahun, Atok alias Abu Ibrahim alias Heru Cokro, berhasil kabur dengan cara berpakaian seperti akhwat (wanita muslim mengenakan cadar).
Gerakan Roki dimulai di Masjid Muhajirin, Klaten, pada tahun 2008, dimanaRoki melanjutkan mengumpulkan lima calon teroris di Masjid Tarbiyah, Sukoharjo. Di sanalah ia mendoktrin arti penting jihad dengan cara amaliat ightalayat, yakni menyerang serta membunuh orang kafir serta orang yang tunduk pada hukum pemerintah Republik Indonesia. Sejak itu, Roki mendaulat dirinya sebagai Amir, pimpinan utama tim ightyalat, dan membentuk struktur organisasi. Ia pun mewajibkan setiap anggotanya mengikuti pelatihan fisik dan memfasilitasi sebagian anggota tim keahlian merakit bom melalui Irfan, murid Neril, alias Soghir, yang merupakan murid langsung (alm.) Dr Azhari. Gerakan ini mendapat dukungan dana dari kelompok Tim Hisbah pimpinan Sigit Qordowi.
Vonis Terhadap Mohamad Thoriq, Terdakwa Terorisme Tambora
Mohamad Thoriq (34) terdakwa kasus terorisme di Tambora, Jakarta Barat, di vonis hukuman pidana selama tujuh tahun penjara yang dijatuhi oleh Majelis Hakim Pengadilan Jakarta Barat pada hari , Senin (10/6). ”Dia menganggap hukuman di dunia ini sulit. Putusan tujuh tahun ditetapkan sebagai takdir,” kata kuasa hukum Thoriq, Ainal seusai persidangan. Ainal menilai hukuman terlalu berat, tetapi Thoriq menolak banding.
Dalam persidangan sebelumnya, Kamis (23/5), JPU menuntut Thoriq dengan hukuman delapan tahun penjara. Thoriq yang dikenakan Pasal 15 Jo Pasal 7 dan Jo Pasal 9 Perpu nomor 1 tahun 2002 yang telah ditetapkan menjadi Undang-undang No. 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Baca artikel penulis tentang Thoriq, “Empat Sasaran Teroris di Jakarta versi Thoriq dan Jaringan Depok”, http://ramalanintelijen.net/?p=5691.
Vonis Terhadap Firman Penembak Polisi di Solo
Hakim Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang mengadili terdakwa teroris Solo, Firman alias Abu Mujahid menjatuhkan vonis delapan tahun penjara dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat Rabu (12/6). Vonis tersebut lebih ringan dari tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang menuntut 12 tahun penjara.
Hakim Ketua Belman Tambunan saat membacakan vonis menyatakan, “Terdakwa Firmansyah alias Firman alias Abu Mujahid, terbukti secara sah dan meyakinkan terlibat dalam aksi terorisme. Dengan ini menjatuhkan hukuman pidana selama delapan tahun kurungan,” katanya. Baca aksi teror Firman beserta komplotannya Bayu dan Farhan dala artikel penulis, “Pengakuan Bayu Teroris Solo dan Bom Pipa di Jakarta” http://ramalanintelijen.net/?p=5663.
Vonis Terhadap Penyandang Dana Teroris Barka Nawa Saputra
Barka Nawa Saputra tersangka sebagai penyandang dana kelompok Al-Qaeda Indonesia, divonis hukuman 10 tahun penjara oleh majelis hakim di PN Jakarta Barat. ”Terdakwa secara sah dan meyakinkan melakukan tindakan terorisme, dan menghukum terdakwa dengan hukuman 10 tahun kurungan,” kata Hakim Ketua Sigit Hariyanto di dalam ruang sidang Mudjono, PN Jakarta Barat, Kamis (27/6). Barka terbukti bersalah karena memiliki dan menyimpan bahan peledak untuk tindakan terorisme. Barkah Nawa Saputra ditangkap Densus 88 pada hari Sabtu (22/9/2012) bersama-sama Badri Hartono (45), Rudi Kurnia Putra (45), Kamidi ( 43), Indran Vitrijan (30), Nopem (30), Fajar Novianto (18) dan Triyatno (29). dengan pimpinan Badri Hartono. Badri bersama Rudi Kurnia mengordinasi dan mengomando kelompoknya. Baderi merupakan pemimpin jaringan Thoriq cs di Beji Depok. Thoriq pemilik bom rakitan di Tambora.
“Majelis hakim memutuskan terdakwa Barkah dihukum 10 tahun penjara karena terbukti melanggar Pasal 15 juncto Pasal 9 UU Terorisme,” ujar hakim ketua, Sigit di PN Jakarta Barat, Jalan S Parman, Slipi, Palmerah, Jakarta Barat.
Vonis Terhadap Badri Hartono
Badri dikenal sebagai pemimpin Al Qaeda Indonesia, divonis hukuman penjara 10 tahun oleh majelis hakim di PN Jakarta Barat, karena terbukti bersalah menjadi otak dalam setiap tindakan terorisme di Pulau Jawa. Hakim Ketua Musa Atif Aini dalam persidangan yang dilakukan di ruang sidang Mudjono, PN Jakarta Barat Kamis (27/6/2013) menyatakan ”Hakim dengan ini memutuskan terdakwa bersalah dan menjatuhkan hukuman selama 10 tahun penjara,”katanya.
Badri terbukti bersalah melanggar Pasal 15 dan Pasal 9 Undang-undang nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Mendengar putusan tersebut, Badri dan kuasa hukumnya menerima putusan tersebut. Badri pada awalnya dituntut 14 tahun penjara oleh Jaksa Penuntut Umum. Badri dan komplotannya terlibat dalam kasus peledakan bom di Hotel JW Marriot bersama kelompok Noordin M. Top pada 2009 lalu. Peran Badri disebutnya berupa bantuan berupa dana dan menyediakan tempat tinggal untuk persembunyian Noordin beserta kebutuhan sehari-harinya.
Selain itu, Badri juga disebut sengaja merencanakan aksi kerusuhan di Solo, Jawa Tengah, dengan meledakkan kantor polisi dan gereja. Tujuannya adalah untuk memecah konsentrasi polisi agar tidak memusatkan perhatiannya ke Poso, Sulawesi Tengah. Dengan begitu, Badri bisa leluasa memusatkan sebagai pusat pelatihan kelompok terornya. Baca penangkapan Badri dalam artikel penulis “Teroris Jaringan Solo, Poso dan Depok ditangkap Densus di Solo”http://ramalanintelijen.net/?p=5776.
Pendapat BNPT dan Upaya Penanggulangan Teror
Dalam rapat kerja antara BNPT dengan Komisi III DPR, Jakarta, Senin (10/6), Kepala BNPT menyatakan bahwa kita butuh solusi politik untuk memberantas terorisme. Ansyaad mengatakan, teroris yang menggunakan metode bom bunuh diri sangat sulit dicegah. Sebabnya, mereka bertindak di luar akal sehat, sehingga sulit dideteksi. Dia menjelaskan, para teroris yang mayoritas dilakukan oleh anak muda terjadi karena begitu bebasnya tokoh-tokoh yang menyebar kebencian di dalam masyarakat. Bahkan, lanjutnya, hal itu dilakukan secara terbuka tanpa sembunyi-sembunyi.
Ada kelompok orang yang tiap hari kerjanya menyebar kebencian, permusuhan terhadap negara. Juga ada sekelompok orang yang melakukan propaganda terhadap para anak muda dalam menebar kebencian kepada negara dan para pejabat publik. Namun, hal itu tidak bisa ditindak karena tak ada Undang-Undang yang mengatur. ”Harus ada ketegasan posisi kita, harus ada kepastian, itu penjahat atau pahlawan, kalau tidak anggota kami kesulitan,” tegas Ansyaad. Solusi politik, lanjut dia, sangat perlu dilakukan untuk memberantas terorisme di Indonesia. Karena, hal ini sangat membantu penegakan hukum bagi aparat di lapangan.
Ansyaad mengatakan bahwa penanganan terorisme di Indonesia, lebih lembut jika dibandingkan dengan negara lain. Di Indonesia, dari sekitar 900 pelaku teror yang telah ditangkap sejak tahun 2002, hanya 90 di antaranya yang ditembak. Sementara di negara lain seperti Amerika hampir 100 persen pelaku terorisme ditembak. “Amerika itu negara yang selalu menyuarakan tentang penegakan Hak Asasi Manusia (HAM). Tetapi di Indonesia, selama ini, jika ada teroris yang ditembak oleh Densus 88 Antiteror pasti dikatakan pelanggaran HAM,” ujar Mbai kepada wartawan di Solo, Jawa Tengah, Rabu (26/6).
Penanggulangan terorisme yang dilakukan Indonesia telah diakui dunia internasional, katanya. Bahkan PBB telah merekomendasikan Indonesia sebagai tempat belajar penanggulangan terorisme dan menjadi model penanggulangan terorisme internasional, diantaranya kepada Nigeria.
Kini yang perlu diwaspadai adalah peningkatan kemampuan serangan bom, yaitu bom nitrogliserin. Menurut Kepala BNPT, kelompok Badri dan kelompok Abu Hanifah di Solo adalah salah satu simpul penting dari jaringan kelompok bom nitrogliserin. “Para perakit bom ini mendapatkan keahliannya di Poso. Ada sekitar 300 orang yang berlatih membuat bom, baru sekitar 100 orang yang telah tertangkap. Memang dari semua ahli perakitan bom itu semuanya menguasai pembuatan bom nitrogliserin. Ada beberapa kelompok kecil kemudian mencoba mengembangkannya. Yang dikhawatirkan jika mereka menularkan keahliannya itu ke kelompok lain,” tegasnya.
Sementara dilain sisi, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) secara resmi menjalin kerjasama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melalui penandatanganan nota kesepahaman (MoU) untuk mencegah dan memberantas pencucian uang oleh teroris.
Yang menarik sinyalemen BNPT tentang adanya tindak korupsi dikalangan pelaku terorisme. Ketua BNPT menyontohkan bahwa kelompok Abu Roban alias Untung Hidayat yang ditembak mati akhir Mei lalu, yang telah berhasil mengumpukan dana sekitar Rp 1,8 miliar dari aksi perampokan dengan sasaran empat bank, toko emas, kantor pos dan toko bangunan. ”Dana itu seharusnya digunakan untuk membiayai aksi teror di daerah Poso. Namun ternyata hanya ratusan juta rupiah saja yang disetor. Selebihnya dana itu digunakan untuk kepentingan pribadi,” katanya.
Informasi Menyangkut Masalah Terorisme Lainnya
Pada hari Sabtu (8/6/2013), Densus 88 telah menangkap dua tersangka teroris di dua tempat terpisah. Dua teroris tersebut ditangkap di Makassar, Sulawesi Selatan dan Poso, Sulawesi Tengah. ”Kedua tersangka pelaku teror atas nama Fatih dan Musab alias Amir alias Umar alias Madinah diketahui sebagai anak buah Santoso, buronan teroris yang kini sedang diburu,” kata Karo Penmas Polri, Brigjen Pol Boy Rafli Amar, Senin (10/6). Keduanya pernah melakukan pelatihan khusus militer di Gunung Biru, Tamanjeka, Poso, pada bulan April 2012 lalu bersama DPO Santoso.
Setelah melakukan penelitian sejak 3 Juni 2013, akhirnya pihak Polri menemukan menemukan identitas pelaku sekaligus korban bom bunuh diri di Mapolres Poso. Kabagpenum Polri, Kombes Agus Rianto, di Gedung Divisi Humas Polri, Jl Senjaya, Jakarta Selatan, Selasa (18/6/2013) menyatakan, ”Namanya Zainul Arifin, alias Arif Petak kelahiran 26 Juni 1979, yang bersangkutan aktif di pondok pesantren di Lamongan,” katanya.
Zainul Arifin (34) adalah sosok yang sudah mempersiapkan diri menjadi “pengantin” atau orang yang melakukan aksi serangan bom bunuh diri.”Yang bersangkutan sempat mengutarakan diri ke salah satu tersangka yang sudah ditangkap, yaitu Baharudin Ahmad alias Umar alias Mus`ap,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Mabes Polri Brigjen Pol Boy Rafli Amar di Jakarta.
Mabes Polri memastikan identitas Arif Patek, dari hasil pemeriksaan DNA ibu kandungnya, Jumaroh (63). Arif Patek merupakan bagian dari jaringan teroris pimpinan Santoso, yang masih menjadi DPO polisi di wilayah Poso. Setelah bermusyawarah dengan seluruh warga, jenazah Zainul alias Arif Patek akhirnya dimakamkan di pemakaman umum di Dusun Semangu, Desa Blimbing, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Provinsi Jatim.
Setelah lulus SMP Negeri Paciran, Zainul Arifin tidak melanjutkan ke SMA, karena kondisi ekonomi orangtuanya tidak memungkinkan. Dia merantau ke Malaysia menjadi TKI. Namun, Zainul tidak lama bekerja di sana. Dia sempat menjual kopi seduh keliling di tempat pelelangan ikan (TPI) Paciran Lamongan. Zainul kemudian menikah dengan Fatimah Nafisah Munyati (23) asal Desa Panggih, Kecamatan Trowulan, Kabupaten Mojokerto pada 2011. Isterinya tidak mengetahui Zainul ke Poso, karena pamitnya ke Qatar.
Sejak menikah, tingkah laku Zainul Arifin berubah, karena isterinya diwajibkan memakai cadar tertutup sekujur tubuhnya. Sejak itu, ia hanya bergaul dengan kelompok jamaah tertentu yang berjumlah sekitar 25 orang di desanya. Menurut Nur Salam (60), ayah Fatimah, aliran jamaah yang diikuti menantunya tidak diketahuinya sama sekali. “Kalau orang waras, tidak mungkin mau disuruh bunuh diri, lagipula isterinya sedang mengandung,” tegasnya. Nur Salam menyesalkan menantunya yang hidupnya miskin justru terhasut mengikuti aliran sesat, yang dibungkus sebagai bagian dari perjuangan agama dan melakukan pemboman.
Yang menarik dan perlu disimak, penyambutan jenazah Zainul Arifin alias Arif Petak, 33, di kampung halamannya di Lamongan, Jawa Timur, Selasa (25/6), diberitakan diwarnai kericuhan. antara simpatisan pelaku dengan warga sekitar. Para simpatisan memasang spanduk bertuliskan ‘Selamat Datang Mujahid Poso’ di mulut rumah orang tuanya. Selama proses pemakaman insan pers dilarang meliput, bahkan beberapa simpatisan melemparkan batu ke arah wartawan.
Penutup
Teroris dinegara manapun apabila sudah terbentuk, terlebih dengan dasar ideologi, membutuhkan proses panjang dan ketekunan luar biasa untuk meniadakannya. Apa yang disampaikan Kepala BNPT tentang perlunya solusi politik benar adanya, tetapi apabila kita mengaca negara-negara besar dalam menetralisir ancaman teror, penulis menyitir pendapat Fareed Zakaria, tentang perlunya tiga strategi yaitu, strategi politik, strategi politik dan strategi budaya. Baca artikel penulis, “Strategi Mengatasi Ancaman Terorisme” http://ramalanintelijen.net/?p=1519. Jadi tidak cukup hanya dengan solusi politik saja.
Hal ini beberapa kali penulis sampaikan pada beberapa acara talk show baik di TV One maupun Metro TV. Mungkin bagi Indonesia strategi militer bisa diperhalus dengan Strategi Penegakan Hukum. Demikian beberapa informasi yang penulis updating dan terjadi pada bulan Juni 2013, semoga bermanfaat.
sumber: kompasiana