Adalah sebuah rahasia umum bahwa para pelaku tindak pidana terorisme selalu menutupi atau bahkan mengganti identitas aslinya dengan identitas baru, identitas yang dianggap lebih representatif dan tentunya, lebih Islamis. Beberapa mantan teroris bahkan secara terang-terangan mengatakan mereka telah membuang seluruh kartu identitas yang mereka miliki ketika mereka masih tergabung dalam kelompok teroris. Kartu identitas itu termasuk KTP, SIM, KK, dll. Alasannya sederhana, kartu identitas itu adalah produk dari negara kafir yang tidak juga mau memberlakukan syariat Islam, yakni Indonesia.
Selain alasan di atas, alasan bahwa identitas lama dipandang tidak representatif untuk ‘perjuangan’ Islam juga masih kerap terdengar. Apalagi jika hal itu didasari pemahaman salah kaprah tentang Islam yang pasti Arab dan Arab yang pasti Islam. Sehingga muncul pemikiran saru seperti ini; misalnya, masak mau memperjuangkan khilafah nama diri masih Tukiran? Kurang Arab, kurang Islam. Maka digantilah namanya menjadi Abu Ghanam, Abu Waba’, Abu Hasaarat, atau abu-abu yang lain. Salah satu pengakuan itu dapat dilihat di sini: Deradikalisai dan Susahnya Jadi Teroris di Negeri Ini
Kebiasaan untuk menggunakan identitas palsu itu kini mulai banyak disesali oleh para teroris yang telah bertaubat, mereka adalah orang-orang yang telah mengerti bahwa apa yang mereka lakukan di masa lalu adalah jahat, bukan jihad. Penyesalan itu pun langsung berbentur dengan kesusahan, tanpa identitas diri yang jelas, sulit rasanya bagi para mantan teroris itu memulai hidup baru. Mereka butuh KTP dan KK misalnya, hanya untuk mendaftarkan anak ke sekolah. Belum lagi untuk mengurus ijin pendirian usaha, melamar pekerjaan, dst.
Di luar itu, masalah lain yang turut bergelayut adalah perihal aliran dana. Banyak kalangan pasti sudah menduga bahwa ada aliran dana besar di balik aksi-aksi terorisme yang terjadi di negeri ini, termasuk dana untuk membiayai penyebaran propaganda hingga pelatihan ala militer, dan dugaan itu memang benar adanya. Ada banyak dana yang bergelontoran masuk ke negeri ini, karena kebanyakan dari dana-dana itu berasal dari luar negeri, ditransfer ke rekening anggota kelompok teroris yang ada di Indonesia.
Rekening yang dimiliki oleh para anggota teroris itu kebanyakan dibuat dengan identitas palsu, sehingga ketika terjadi masalah, dana yang ada di bank tidak bisa dicairkan atau digunakan untuk kepentingan lain. Apalagi identitas palsu tersebut biasanya hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Masalah yang dimaksud adalah kematian.
Hal ini terjadi dalam beberapa kasus, seperti kasus tewasnya teroris berinisial D. Menurut beberapa rekannya sesama anggota gerombolan teroris, D ini masih memiliki dana dalam jumlah besar di sebuah bank, dana kiriman dari luar. Namun rekening milik D tercatat atas nama lain, nama palsu alias fiktif. Tentu, dana yang dimaksud tidak bisa diurus. Ini baru tentang D, masih ada banyak teroris lain juga menyimpan cerita serupa; tewas meninggalkan rekening berisi ratusan juta dana yang tidak akan jelas nasibnya.
Beberapa mantan teroris yang sudah bertaubat sempat menyampaikan keinginan agar aparat melakukan upaya khusus untuk mengurus dana-dana tersebut, karena dana itu bisa digunakan justru untuk melawan paham kekerasan yang dulu sempat mereka agung-agungkan. Jika dulu dana itu sempat digunakan untuk pembiayaan pelatihan kelompok radikal, misalnya, maka bisa saja dana yang sama digunakan untuk membiayai pelatihan tentang kebangsaan dan cinta tanah air. Meski ini adalah masukan yang baik, namun harus diakui, hal itu tidak akan mudah dilakukan.
Cerita tentang identitas palsu dan milyaran dana yang membeku seperti di atas hanyalah sedikit gambaran nyata betapa terorisme tidak akan memberikan manfaat apa-apa, karena ia hanya akan berakhir dengan penuh penyesalan.
Pesan utama dalam tulisan ini bukan tentang dana, tapi fakta bahwa terorisme dibangun di atas kebohongan dan penipuan besar-besaran. Salah seorang mantan teroris berinisial M belum lama ini mengaku bahwa ia dulu sering membohongi keluarga tiap kali ditanya aktifitasnya. Demikian pula dengan duet teror bom Bali, A dan IS, mereka tidak pernah mengatakan yang sesungguhnya tentang aktifitas yang mereka lakukan. Karenanya ketika mereka akhirnya ditankap aparat, keluarga menjadi pihak yang mengalami shock terberat.
Semoga hal ini dapat membuat kita semua semakin percaya bahwa terorisme sangat bertentangan dengan agama, karena tidak mungkin perintah tuhan dilakukan dengan penuh kebohongan dan kekerasan.