Terorisme sudah jamak diketahui sebagai paham dan aksi yang menyebabkan kesusahan, dimanapun paham kekerasan itu berada, di situlah banyak kesusahan akan melanda. Tetapi pasti belum banyak yang tahu bahwa para pelaku teror ternyata juga mengalami kesusahan yang sama, lebih susah malah. Cerita ini saya dapat langsung di lapangan, melalui berbagai penugasan dan kerja sosial yang membuat saya bertemu langsung dengan para teroris, baik yang masih jahat maupun yang kini telah bertobat.
Jika kesusahan yang diderita para korban terorisme kebanyakan terkait dengan kerusakan fisik, maka kesusahan yang harus dipikul para teroris jauh lebih menyakitkan; kerusakan yang mereka tanggung meliputi fisik, kondisi psikologi, dan akses untuk dapat hidup dengan baik lagi. Tanpa bermaksud menafikan kesusahan yang diderita para korban aksi terorisme, tulisan ini bertujuan untuk menunjukkan sisi-sisi lain dari aksi terorisme, khususnya tentang nasib para teroris yang ternyata harus menderita jauh lebih menyesakkan daripada kesusahan yang mereka sebabkan kepada para korban.
Dalih pembenaran yang selalu menggunakan alasan agama tentu hanyalah guyonan yang tidak ada lucunya, agama tidak mungkin membiarkan umatnya berlaku kerusakan. Para teroris memang gemar berlindung dibalik merek besar agama untuk menghadirkan kesusahan bagi sesama, mereka pelintir ayat-ayat tuhan untuk terus-terusan berbuat kerusakan.
Saya (dan mungkin juga anda) tentu percaya bahwa tuhan tidak akan diam saja dengan rentetan kegilaan yang dilakukan manusia atas nama-Nya.
Dengan mata dan kepala sendiri saya menyaksikan betapa para teroris itu perlahan namun pasti mulai menerima murka Tuhan. Bagi saya, ini tentu merupakan salah satu bukti pemenuhan janji Tuhan yang melarang kita untuk berbuat kerusakan, jika kita abai terhadap larangan itu, tuhan tidak segan-segan untuk memberi kita pelajaran (hukuman). Allah SWT misalnya, telah berujar dalam Qs. al Maidah : 32 bahwa dosa membunuh seorang manusia yang tidak berdosa sama besarnya dengan dosa membunuh manusia seluruhnya.
Allah tidak main-main dengan peringatan ini, siapa saja yang berani mengangkangi peringatan ini akan menerima kemarahan Allah yang tak terperi. Para teroris yang dulu merasa jumawa kini perlahan tampak sekali sedang tersiksa. Raut muka mereka yang dulunya buas kini berubah menjadi melas, gaya bicara yang dulu kerap berapi-api, kini mulai meredup dan nyaris tak terdengar lagi.
Hukuman penjara tentu tak seberapa dibanding dengan murka Tuhan pemilik alam semesta, batin dan kepala para teroris itu dikoyak habis hingga tak henti mereka menangis. Tak jarang saya jumpai para teroris yang raut mukanya penuh dengan rasa ketakutan; bukan takut kepada polisi tentunya, tetapi takut atas murka si penguasa jagad raya.
Pada akhirnya, saya menyaksikan bahwa para teroris itu adalah juga manusia. Mereka semua memiliki potensi untuk melakukan kesalahan sekaligus potensi untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Di berbagai lapas yang terdapat napi terorisme di dalamnya, saya menyaksikan banyak sekali aura penyesalan dan keinginan kuat untuk menebus kesalahan yang telah mereka perbuat. Hal ini tentu merupakan sesuatu yang baik, meski nyatanya tidak akan mudah dilakukan.
Ada banyak masalah utama yang harus dihadapi para teroris ketika mereka akhirnya keluar dari penjara, diantaranya; masyarakat kebanyakan masih belum siap untuk menerima mereka kembali, jangankan untuk menerima mereka yang masih hidup, dalam keadaan sudah mati pun (jenazah) teroris banyak ditolak oleh masyarakat. Kalaupun mereka diterima, para teroris itu tidak akan mudah untuk menata hidup. Teroris jarang memiliki keahlian yang dibutuhkan masyarakat, sehingga mereka akan kesulitan untuk menemukan pekerjaan. Belum lagi dengan ‘catatan hitam’ yang telah mereka torehkan, kembali ke masyarakat tidak akan semudah yang dibayangkan.
Di luar lapas, para teroris masih direpotkan dengan keharusan melakukan wajib lapor sebulan sekali ke pihak polisi. Masalah lain yang dihadapi para teroris itu adalah perihal identitas diri, tidak sedikit dari para teroris yang tidak memiliki kartu identitas apapun, baik berupa KTP, SIM, KK, Akte, dan lain-lainnya, sehingga mereka kesulitan untuk melakukan aktifitas.
Baru-baru ini saya menjumpai salah seorang mantan napi terorisme yang mengaku kesulitan beraktifitas karena tidak memiliki kartu identitas. Pikirannya selalu was-was ketika bepergian, takut ada pemeriksaan. Ia juga kesulitan untuk mendaftarkan anaknya yang akan memasuki jenjang pendidikan SMP karena harus menunjukkan Kartu Keluarga.
Kita bersyukur bahwa di negeri ini pemerintah masih peduli dengan nasib orang-orang yang pernah tersesat dalam paham dan aksi terorisme, disamping melakukan penegakan hukum dengan memasukkan para teroris ke Lapas, pemerintah juga melakukan deradikalisasi yang ditujukan untuk mengembalikan mereka ke jalan yang benar.
Mantan deputi 1 BNPT bidang Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi Mayjen TNI Agus SB menjelaskan dalam bukunya “Deradikalisasi Nusantara” bahwa program deradikalisasi ini difokuskan pada 6 aspek utama, yakni: rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, pembinaan wawasan kebangsaan, pembinaan keagamaan moderat, dan kewirausahaan.
Akhirnya, terorisme bukan saja menimbulkan kesusahan kepada para korban, tetapi juga kepada para pelakunya. Kini ada banyak teroris yang telah dan mulai menyadari kesalahan yang mereka lakukan di masa lalu, menjadi teroris memang tidak ada enaknya!