Secara istilah terorisme adalah aksi kekerasan yang ditujukan untuk menebar ketakutan terhadap masyarakat. Biasanya terorisme bermuara pada tujuan politis, sehingga hal ini selalu tentang merebut atau membangun kekuasaan dengan cara-cara keras di luar nalar kemanusiaan. Sampai saat ini belum ada definisi baku tentang terorisme, baik secara akademis maupun yuridis.
Amerika Serikat, yang paling getol menggunakan istilah terorisme, pun tidak juga menemukan kata sepakat untuk memberi definisi dan kategori-kategori tertentu terhadap terorisme. Namun satu hal yang menjadi ciri utama terorisme –dan ini telah disepakati bersama— adalah sasaran dari tindak kekerasan yang justru bukan berasal dari ‘orang-orang yang bersalah’. Tujuan utama terorisme adalah menebar ketakutan, sehingga siapa saja sewaktu-waktu bisa menjadi korban.
ISIS adalah salah satu contoh nyata tentang organisasi terorisme. Karena mereka telah dengan sombong menjatuhkan banyak korban, tak peduli usia, jenis kelamin, atau suku bangsa. Mereka ingin memastikan bahwa masyarakat selalu berada dalam kondisi ketakutan agar apa yang mereka inginkan dapat segera tercapai tanpa ada banyak halangan.
Banyak kalangan yang menilai ISIS adalah organisasi yang isinya murni orang-orang bengal berperilaku janggal, seolah organisasi ini muncul begitu saja tanpa jelas apa sebabnya. Padahal jika ditilik lebih lanjut, kemunculan ISIS menyimpan parade sejarah panjang, meski tentu hal tersebut tidak dapat digunakan sebagai bahan pembenaran atas berbagai tindakan kejam yang mereka lakukan.
Sebelum besar dan terkenal dengan ISIS, organisasi pimpinan Abu Bakr Al Baghdad ini bernama Dewan Syura Mujahidin. Kelompok ini merupakan bagian dari Al Qaeda di Irak. Pada awalnya kelompok ini tidak sendiri, ada banyak pula kelompok keras lain yang sama-sama berada dibawah payung Al Qaeda, seperti Katbiyan Ansar al Tawhid wal Sunnah, Jaysh al Fatiheen, Jund al Sahaba, dan Jeish al Taiifa al Mansoura. Namun seiring dengan perjalanan waktu, Al Qaeda tidak sudi untuk bergabung dengan ISIS karena merasa berbeda dalam visi dan misinya.
ISIS lahir pada 2003 dari benih Al Qaeda Irak, meski beberapa kalangan meyakini bahwa ISIS telah lahir sebelum itu, yakni pada 2001 tepat setelah invansi militer di Irak selesai. Juru bicara ISIS saat itu, Abu Muhammad al Adani, mengeluarkan pernyataan resmi bahwa ISIS adalah bentuk negara Islam dengan Abu Bakr al Baghdadi sebagai pemimpinnya. ‘Proklamasi’ negara ini pertama kali dilakukan pada 9 April 2013. Mereka kemudian menggambar sendiri wilayah-wilayah yang mereka klaim menjadi bagian dari negara barunya, wilayah tersebut tersebar di beberapa negara Timur Tengah. Dalam salah satu kesempatan, Baghdadi menyatakan bahwa ia sangat berhasrat untuk menguasai Vatikan, Roma, di Italia untuk kemudian mengajak seluruh umat Islam bergabung dengannya.
Kemunculan ISIS berbarengan dengan moment kehancuran Irak dimana kekuasaan menjadi kosong setelah pemerintahan Saddam Hussein ambruk. Sistem keamanan nasional otomatis menjadi rapuh, sementara pasukan asing begitu kalap membombardir Irak. Hal ini tentu menyulut kemarahan dan kegeraman rakyat. Terlebih invasi di Irak yang terjadi saat itu bukanlah yang pertama, pada 1980 invasi militer di Irak telah menewaskan satu juta orang lebih. Tujuh tahun berikutnya, tepatnya pada 1987-1988 muncul kelompok keras bernama Ba’thist Irak yang mencongkel nyawa sekitar 200 ribu warga sipil Kurdi. Pada 1990 Irak harus bersusah payah setelah keluar sanksi minyak dan makanan dari PBB. Irak dilarang menjual minyaknya, mereka hanya diperbolehkan untuk menukarkan minyak tersebut dengan makanan dan obat-obatan.
Kekosongan kekuasaan –yang menurut banyak pihak merupakan ulah Amerika— diyakini sebagai awal kebangkitan kelompok yang mengusung ajaran kekerasan, salah satunya adalah Al Qaeda. Banyak kalangan menilai Amerika memiliki andil besar atas kemunculan kelompok keras di Irak. Meski mereka bukanlah pihak yang mendirikan kelompok tersebut, namun secara picik Amerika telah menciptakan situasi yang sedemikian rupa bagi kelahiran dan perkembangan kelompok ekstrimis.
Jurgen Todenhofer, seorang wartawan berkebangsaan Jerman, menilai bahwa kemunculan ISIS merupakan harga yang harus dibayar saat Presiden George W. Bush, melakukan invasi di Irak. Amerika dan Inggris telah melakukan kebohongan besar untuk membenarkan serangan yang mereka lakukan di Irak, karena hingga kini tuduhan kepemilikan senjata nuklir yang dialamatkan kepada Saddam Hussein tidak pernah terbukti. Kedua negara ini bahu-membahu membuat masyarakat internasional percaya mereka sedang memerangi pemimpin negara yang menyimpan senjata mematikan. Padahal nyatanya justru apa yang mereka lakukan di Irak-lah yang sebenarnya sangat mematikan.
Seperti dikutip oleh Al Arabiya, Bush mengakui bahwa kemunculan ISIS adalah akibat dari invasi militer di Irak yang diperintahkannya. Namun, ia mengaku tetap tidak menyesal memberikan perintah invasi ke Irak seperti yang sebelumnya juga pernah dilakukan oleh ayahnya pada 1981 lalu.
ISIS tampak sedang memanfaatkan moment di atas untuk melancarkan berbagai serangan brutal yang menyasar ke sembarang orang. Seolah mereka sedang mengatakan bahwa apa yang mereka lakukan adalah murni tindakan balas dendam. Tetapi kita menyaksikan bahwa apa yang mereka lakukan sudah sangat berlebihan, benar-benar diluar nalar kemanusiaan!