Belum terungkap kasus yang menimpa penembakan anggota Polri Aipda Kus Hendratma dan Bripka Ahmad Maulana di Pondok Aren, Tangerang Selatan, pada Agustus lalu, kini anggota Polri kembali menjadi sasaran teror keji. Kali ini menimpa Bripka Sukardi yang tewas ditembak di depan Gedung KPK di Kawasan Kuningan, Jakarta.
Menghadapi serangkaian teror, Polri harus menelisik setiap potensi keterlibatan aktor-aktor yang saat ini sudah dalam radar identifikasi Polri. Hampir dipastikan, jaringan tradisional terorisme akan kembali ditelisik Polri. Menelisik jaringan ini tentu saja harus ekstra hati-hati dan bisa dipertanggungjawabkan. Karena salah menangkap dan menetapkan tersangka, yang terjadi justru muncul teror susulan.
Jaringan konservatif ini memang memiliki potensi melakukan teror. Tetapi, keterbatasan akuntabilitas pemberantasan terorisme, seringkali kemudian menimbulkan keraguan publik, bahwa pelaku sesungguhnya adalah aktor-aktor yang diciduk polisi tersebut. Soal akuntabilitas pemberantasan terorisme harus menjadi perhatian Polri dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
Hal yang penting untuk diperhatikan dalam proses ini adalah keterbukaan. Sebagian besar identifikasi senjata api untuk kasus-kasus teror sering kali disederhanakan ke dalam kelompok senjata produk Filipina yang dikaitkan dengan jaringan teroris lama. Kesimpulan itu sering kali diragukan publik. Justru yang muncul kemudian tuduhan bahwa Polri melakukan stigmatisasi terhadap kelompok tertentu, dan tentu saja menumbuhkan permusuhan baru. Isu utama soal ini juga akuntabilitas penyelidikan senjata api.
Dalam menyelidiki peristiwa yang rentan politisasi dan mengundang gejolak baru, simplifikasi penanganan harus dihindari. Tidak bisa persoalan teror disimpulkan secara sederhana. Metode deduktif dalam penyelidikan harus dilakukan untuk mengungkap fakta yang sebenarnya, bertolak dari serpihan-serpihan bukti di lapangan, kemudian disimpulkan. Akan tetapi, mengaitkan setiap teror dengan jaringan terorisme tradisional justru bentuk penyederhanaan.
Kemampuan mengeksekusi seseorang dengan senjata api bukanlah dominasi aktor-aktor teroris, terdapat kelompok lain yang memiliki kemampuan sama, bahkan lebih. Kelompok di luar jaringan teroris itu bisa berasal dari mana pun. Karena itu, mata dan telinga Polri tidak boleh hanya menunjuk dan merekam satu kelompok saja, karena itu justru akan menutup potensi dugaan keterlibatan aktor lain.
Di atas semua langkah itu, Polri perlu merancang kebijakan baru untuk mengatur personel yang bertugas. Pascaperistiwa Pondok Aren, Polri sebatas memperketat pengamanan, justru di kantor-kantor resmi, yang kecil kemungkinan menjadi sasaran serangan.
Kebijakan yang pernah mengemuka tentang pola penugasan lapangan, tidak cukup hanya menjadi wacana dan konsumsi media. Kebijakan itu harus dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Ada banyak langkah untuk memastikan anggota Polri tetap tegar, berani, dan berdedikasi dalam bertugas di lapangan. Tanpa langkah konkret, keluarga besar Bhayangkara akan terus dihinggapi kecemasan. Dan, tentu saja, kita tidak menghendaki karena korps inilah yang bertugas menciptakan rasa aman warga masyarakat. ***
sumber: suarakaryaonline