Ini guyonan yang sempat beredar di media sosial Arab, “kalau Anda tak tahu benar Islam, dalam pengertian membaca secara mendalam sumber-sumber Islam klasik, Anda menjadi muslim moderat. Tapi kalau Anda tahu benar, ada dua kemungkinan, Anda bisa menjadi seperti ISIS, atau muslim kritis seperti Nasr Hamid Abu Zaid” (seorang sarjana muslim asal Mesir).
Tentu saja in memang sekedar guyonan, tapi ia menjawab sejumlah pertanyaan yang menyeruak, kala publik menonton dengan penuh histeria, tapi juga rasa ingin tahu yang besar, parade kebrutalan yang dilakukaan oleh ISIS di Irak. Apakah ISIS itu Islam atau tidak? Kalau Islam, kenapa begitu brutal? Apakah Islam seperti itu? Bukankah Islam adalah agama yang membawa rahmat?
Reaksi umum masyarakat Islam, bukan saja di Indonesia, tapi juga di kawasan dunia yang lain, adalah “This is not Islam!” Tak mungkin islam seperti itu. Kita bersyukur bahwa reaksi umat hampir secara aklamasi menyatakan menolah kebrutalan ISIS sebagai tindakan yang bisa dibenarkan secara keagamaan. Anda bisa bayangkan jika reaksinnya lain, misalnya, “Yes, this is Islam!” reaksi semacan ini tentu akan memberikan dukungan moral yang besar kepada ISIS, dan akan menambah kepercayaan mereka sebagai duta dan suara umat Islam di seluruh dunia. Alhamdulillah, kemungkinan yang kedua ini tidak terjadi.
Tapi, jika kita telaah lebih jauh lagi. Sebetulnya ada jabawan kedua, seluruh yang dilakukan ISIS pada dasarnya memiliki dalil dan dasarnya dalam sumber-sumber otentik Islam. Jawaban kedua ini memang tidak cukup populer. Sebab-akibatnya secara psikologis bisa menyakitkan umat Islam sendiri, sekaligus mengkonfirmasi tuduhan kalangan Islamofobia (pembenci Islam) bahwa Islam adalah agama kekerasan. Tapi banyak kalangan dalam Islam yang sebetulnya sadar bahwa memang ada dasar-dasar bagi tindakan ISIS dalam sumber-sumber Islam.
Majalah The Atlantic edisi Maret tahun ini menurunkan artikel panjang yang ditulis oleh Graeme Wood, seorang wartawan Kanada. Dengan mengutip Bernard Haykel, seorang ahli Islam dari Universitas Princeton, AS, Wood mengaskan bahwa Islam ala ISIS adalah Islam yang otentik, yang memiliki dasarnya dalam korpus Islam kalsik. Meskipun, dalam pandangan Haykel, Islam ala ISIS itu adalah sejenis anakronisme , karena ingin membangkitkan Islam dari abad ke-7 dan ke-8 dalam konteks sosial dan historis yang sudah sama sekali berbeda. Bukan saja membangkitkan secara spirit, tapi juga secara harfiah.
Apa yang dikemukakan oleh Haykel bukan hal yang baru dan aneh. Seperti sudah saya katakan, kalangan Islam sendiri, terutama mereka yang sangat akrab dengan teks-teks klasik Islam, tahu benar bahwa apa yang dikatakan ISIS tak seluruhnya salah dilihat dari sudut otentisitas. Hanya pendapat semacam ini memang secara psikologis susah diterima oleh publik Islam yang umumnya tidak melakukan kajian secara mendalam atas sejarah dan ajaran Islam dalam sumber-sumber klasik.
Ambil contoh, misalnya, beberapa kebijakan yang diambil oleh ISIS sekarang. Yang pertama dan paling menonjol, negara khilafah. Semua orang yang mempelajari kitab-kitab tentang fiqh al-siyasah (terori politik Islam), seperti Al-Ahkam al-sulthaniyya karya Al-Mawardi (w. 1058 M, Baghdad), akan tahu bahwa gagasan tentang negara khilafah itu memang ada dalam sumber klasik Islam. Gagasan khilafah juga punya rujukan dalam sebuah hadis yang terkenal riwayat Imam Ahmad (w. 855 M), Apakah kita bisa mengatakan bahwa negara khilafah adalah murni “fabrikasi” atau buatan ISIS tan dasar-dasar dalam sumber otentik Islam? Tentu saja tidak. Dasarnya ada.
Yang lebih fantastis lagi adalah hukuman yang diterapkan ISIS kepada tawanan perang muslim asal Yordania bernama Muaz Kasasbeh. Ia dihukum dengan cara ditaruh dalam sebuah sangkar besi dan dibakar di depan publik-suatu tontonan surealistis yang hanya bisa kita lihat di film-film Hollywood tentang era Eropa Abad Pertengahan.
Pertanyaannya, apakah hukuman yang brutal semacam ini ada dasarnya dalam Islam? Jawaban ISIS, ada. Mereka sudah memiliki tim Fatwa yang menyediakan dalil khusus untuk setiap tindakan mereka yang akan dianggap oleh publik sebagai “un-fathomable brutality”. Tim fatwa ISIS mengutip sebuah keterngan dari kitab klasik yang juga populer di kalangan pesantren NU, Fathul Bari. Di sana, dikatakan bahwa menurut mazhab Hanafi dan Syafii (mazhab yang banyak diikuti di Indonesia dan Asia Tenggara), hukum bakar tubuh dibolehkan dalam Islam.
Joke yang saya kutip di pembukaan esai ini, untuk sebagian ada benarnya. Mereka yang tak membaca secara mendalam sumber-sumber islam klasik, akan menjadi muslim moderat; dalam pengertian, dia tak akan bisa membenarkan tindakan ISIS dan memandangkannya sebagai hal yang bukan Islam. Pandangan oleh landasan yang kokoh selain ketidaktahuan saja. Joke itu ada benarnya, walaupun tidak seluruhnya.
Yang membaca secara mendalam sumber islam klasik, bisa berhadapan dengan dua kemungkinan, dia menjadi radikal seperti ISIS dan menganggap bahwa semua hal yang tertulis di Al-Quran, hadis, dan sumber-sumber klasik lainnya, harus diterapkan mentah-mentah di zaman modern seperti sekarang, tanpa penafsiran ulang.
Kemungkinan kedua, dia tak mengingkar bahwa dalam sumber-sumber Islam sendiri memang ada hal-hal “antik” seperti yang dipraktekkan oleh ISIS tersebut, tapi hal semacam itu tak bisa di replikasi dan dibawa ke dalam kehidupan modern tanpa melalui penafsiaran ulang secara kontekstual. Sebab, Islam adalah agama yang dinamis kontekstual. Menerapkan ajaran Islam haruslah memperhatikan konteks. Jika tidak, kita bisa terjatuh ke lubang ISIS.
Saya ingin tambahkan kemungkinan lain, seseorang bisa membaca secara mendalam sumber-sumber Islam klasik, dan dia menjadi muslim moderat seperti yang kita lihat pada kiai-kiai di seluruh pesantren NU sekarang ini. Mereka mempelajari semua yang dikemukakan oleh “juru fatwa” ISIS itu. Tapi, kiai-kiai itu tetap tak bisa membenarkan praktek ISIS. Sebab, penerapan Islam tetap harus melalui “hikmah” atau local wisdom. Jika tidak, citra Islam sendiri akan tercoreng.
Penulis : ULIL ABSHAR-ABDALLA (Cendekiawan Muslim)
Sumber : Koran Tempo (Cetak) 20 April 2015