JAKARTA – Untuk mencegah berkembangnya paham terorisme dan aksi-aksi terorisme di Indonesia, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) menawarkan konsep perlunya revolusi mental di tengah-tengah masyarakat. Rakyat perlu dirubah karakternya agar mau peduli dan waspada akan bibit-bibit terorisme di lingkungannya.
Hal tersebut ditegaskan Deputi bidang Pencegahan, Perlindungan, dan Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Mayor Jenderal TNI Agus Surya Bakti, dalam acara peluncuran buku Darurat Terorisme, Kebijakan Pencegahan, Perlindungan dan Deradikalisasi di Jakarta, Senin (2/6).
Menurut Agus, revolusi mental diperlukan untuk mengubah sikap mental masyarakat Indonesia agar mau peduli dengan lingkungan di sekitarnya. “Revolusi mental dimaksudkan untuk merangsang masyarakat untuk bersama-sama dengan aparat penegak hukum untuk mencegah aksi-aksi terorisme,” kata Agus.
Diakuinya memang tidak mudah untuk menyadarkan para pelaku teror yang sudah tertangkap. “Untuk mendekati dan menyadarkan mereka harus dilakukan dengan pendekatan halus, tidak bisa keras. Pengalaman saya, saya dekati mereka dengan senyuman, memang satu dua kali saya dimaki mereka, tapi untuk selanjutnya mereka mau mengerti. Untuk yang masih hitam-putih, itu yang susah dan menjadi tugas kita semua untuk menyadarkannya,” kata Agus.
Agus menulis buku bertema Darurat Teroris karena dirinya melihat aksi-aksi terorisme terus terjadi meski dengan cara dan pola berbeda. “Itu sebabnya kenapa saya katakan itu darurat teroris karena yang bicara di sini adalah idealisme dan kepercayaan yang diyakini si pelaku, dan itu yang sulit diubah,” kata Agus.
Terus tumbuhnya jaringan teroris menjadi bukti bahwa akar terorisme itu sulit diberantas. “Kedua, dikatakan darurat teroris karena untuk menyelesaikan masalah terorisme tidak dapat diselesaikan dengan keras sama keras, karena itu tidak dapat menyelesaikan masalah. Dan ketiga, konsep penegakan hukum yang ada juga parsial, ulama, dan dosen masih berjalan sendiri-sendiri,” kata Agus. Karena itu, pihaknya menawarkan konsep bahwa bentuk pencegahan secara semesta itu lebih efektif dalam mencegah aksi terorisme.
Paling Lembut
Sementara itu, Ketua BNPT Ansyaad Mbay mengatakan pendekatan penanganan teroris di Indonesia terbilang paling lembut dibanding negara lain. Bila di negara lain sampai menggunakan pesawat tempur untuk menggempur teroris, di Indonesia lebih mengutamakan pendekatan hukum.
Menurut Ansyaad, negara tetangga Indonesia, Malaysia, sampai menggunakan pesawat tempur untuk mengejar teroris. Sedangkan di Indonesia, ujar dia, tidak menggunakan kekuatan perang, namun pendekatan hukum. Meski begitu cara yang ditempuh Indonesia malah menjadi menasional.
“Strategi kita menjadi menasional dan tidak ikut ikutan dengan negara lain. Negara-negara lain menekan kita supaya bertindak tegas tapi no,” kata Ansyaad. Dan kedua, hanya di Indonesia, yang melibatkan mantan teroris untuk melakukan pendekatan dengan para narapidana teroris. BNPT sendiri pernah menghadirkan mantan pimpinan Jamaah Islamiah (JI) Mesir untuk menyadarkan teroris.
“JI kita ini kopi abis dari Mesir, sekarang mantan pimpinan JI Mesir malah berdakwah untuk meletakkan senjata, dan pengikut JI Mesir mengikuti dan ikut pemilihan, dan menang. Jadi daripada bergerak di bawah tanah, lebih baik ikut pemilihan dan perjuangkan keinginannya untuk mendirikan negara sesuai syariat Islam,” kata Ansyaad. SUMBER : KORAN-JAKARTA.COM