Jakarta – Indonesia tengah menghadapi ancaman besar terkait dengan gerakan radikalisme yang ditimbulkan dengan propaganda yang dilakukan oleh Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Pemerintah harus cepat membuat langkah tepat untuk mengantisipasi masuknya ISIS di Indonesia, tapi tidak dengan cara represif.
“Yang pasti gerakan radikalisme tidak bisa diselesaikan dengan cara refresif seperti yang dulu digunakan pemerintah Orde Baru. Sekarang pemerintah dan negara harus hadir melindungi rakyatnya dari ancaman dari gerakan tersebut terutama dengan memperkuat ideologi bangsa dan ekonomi rakyat. Karena strategi radikalisme untuk bisa masuk ke masyarakat dengan memanfaatkan kelemahan ideologi dan keterpurukan ekonomi, disamping dengan cara kekerasan fisik dan senjata,” ujar Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, Prof Dr Dede Rosyada MA kepada media, Selasa (5/5/2015)
Dede mengungkapkan bahwa, ketika masih dalam urusan agama, radikalisme itu masih bisa didiskusikan di musholla-musholla atau masjid. Tetapi bila sudah keluar dari masalah agama dan masuk ke masalah sosial dan politik serta melibatkan banyak orang, radikalisme itu harus dicegah dan diantisipasi karena itu menjadi pintu masuk radikalisme. “Bila itu dilakukan maka salah satu ruang gerakan radikalisme agama, terutama ISIS akan tertutup. Tentu saja itu dibutuhkan kerjasama dari berbagai pihak, karena ISIS menggunakan berbagai macam dalam menjalankan aksinya. Yang pasti kita harus lebih memperkuat lagi ideologi bangsa Indonesia dan juga meningkatkan kemakmuran rakyat. Bila itu bisa kita wujudkan, Insya Allah, ancaman radikalisme itu, pasti akan dengan sendirinya mentah,” tukas Dede.
Dede mengungkapkan bahwa saat ini ring of fire ISIS di Indonesia itu ada tujuh titik, antara lain DKI Jakarta, Tangerang, Depok, dan lain-lain. “Meski belum nyata di Indonesia, tapi kita jangan sampai lengah, apalagi sampai kecolongan. Mereka sangat lihai dengan memanfaatkan berbagai lini kehidupan masyarakat, terutama para generasi muda. Kita harus bisa menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia dari ancaman radikalisme dan ISIS,” terang Dede.
Sementara itu, Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Prof Dr Irfan Idris mengungkapkan bahwa ancaman radikalisme atau ISIS itu telah menjadi ancaman global. Pemerintah tidak bisa sendirian untuk menangkal masuknya ISIS ke Indonesia. “Pemerintah dan rakyat harus bisa menjalin sinergi untuk
mengantisipasi dan menanggulangi propaganda dan ancaman yang dilakukan kelompok radikal, terutama ISIS. Apalagi di era modern sekarang ini, kita harus bisa solid di segala lini masyarakat sehingga sekecil apapun gerakan radikalisme itu, sudah bisa kita ketahui dan kita cegah sedini mungkin,” kata Irfan.
Irfan mencontohkan, saat di setiap provinsi sudah ada Koordinator Dakwah Islamiah (Kodi). Menurutnya, setiap Kodi itu pastinya telah memiliki data-data tentang syiar agama di setiap wilayahnya masing-masing di seluruh Indonesia. Dari situ bisa dibuat program yang salah satu tujuannya adalah mencegah masuknya faham radikalisme dan menangkal masuknya ISIS.
“Kita bisa panggil pengurus, bahkan marbot setiap masjid. Kita tingkatkan pengetahuan mereka, kita bekali dengan pemahaman tentang bahaya radikalisme. Saya kira dengan begitu bisa menjadi cara untuk menangkal kegiatan radikalisme. Ada dua hal yang kita lakukan yaitu meningkatkan pemahaman mereka dan meminimalisir semangat yang tidak punya dasar tersebut. Karena kalau orang sudah punya semangat berapi-api, kadang sudah tidak mau mendengarkan petuah orang tua,” kata Irfan.
“Kita harus merapatkan barisan. Jangan terpancing isu tidak akurat agar umat islam dijadikan sasaran. Untuk itu kita harus memiliki pertahanan berupa strategi untuk menangkal serangan radikalisme, terutama ISIS, sesuai dengan budaya dan kearifan lokal. Ini benar-benar harus diantisipasi, agar kita bisa menyelamatkan masa depan anak-anak dan generasi muda Indonesia,” tandas Irfan Idris.