Media radikal yang mengatasnamakan ‘kepentingan’ Islam makin marak. Informasi mengenai hal ini tidak jarang berupa fakta bercampur bumbu gosip, desus-desus, provokatif, dan tendensius. Masyarakat diracuni pikirannya. Bagi mereka yang memiliki karakter kuat agitasi itu pasti tertolak karena berlawanan dengan akal sehat dan prinsip dasar keagamaan.
Tanpa bermaksud menyalahkan media massa, pemberitaan yang dibuat jurnalis selama ini tampak belum memiliki mainstreaming pembelaan. Mereka baru sebatas penyampaian fakta. Hal ini terbukti dengan penggunaan diksi jurnalistik yang seolah memberi ‘panggung’ bagi kelompok radikal. Hal yang sebenarnya bisa dihindari. Radikalisme yang sejatinya hanya digandrungi oleh sejumlah kecil manusia, seakan memiliki ranah pemberitaan yang ‘menggigit’ (little but speak louder).
Seharusnya, semua kalangan di republik ini memiliki visi yang sama dalam pemberantasan radikalisme, termasuk jurnalis. Pemberantasan unsur ekstrimist violence bukan berarti perlawanan terhadap agama (Islam). Karena radikalisme itu bukan agama, dia hanya menjadi sempalan kecil yang kehadirannya mengganggu seperti Benalu.
Sebagaimana diketahui, sejumlah ulama besar dari berbagai negara telah bersepakat melancarkan aksi penolakan terhadap dakwah dan cara-cara para penganut radikalisme ini. Alasannya sederhana, radikalisme diyakinkan tak memiliki dasar teologis apapun dalam ajaran agama. Prinsip agama sejatinya hanya mengajarkan kasih sayang –bukan hanya kepada manusia- kepada seluruh ciptaan Tuhan. Itu artinya, siapapun yang keluar dari prinsip dasar ini, dipastikan keluar dari agama.
Keputusan dan kebijakan apapun dari negara yang bertujuan menindak para pelaku kekerasan agama, termasuk menutup situs penebar kebencian, harus diapresiasi. Dengan fikiran yang jernih keputusan itu dapat dipahami sebagai bagian dari upaya mengehentikan mata rantai kejahatan. Tujuannya jelas, demi menciptakan ketertiban, kedamaian, dan keselamatan warganya.
Masyarakat harus diyakinkan bahwa upaya itu tidak ada kaitannya dengan perlawanan atau kecemasan terhadap agama tertentu. Tudingan negara memusuhi Islam dalam hal pemblokiran situs radikal, sama sekali tidak berdasar. Karena jika negara melakukan itu, maka negara melanggar konstitusinya sendiri. Hal serupa sebenarnya pernah dilakukan negara saat menutup banyak situs berkonten pornografi karena dianggap membahayakan bangsa. Dengan alasan yang sama, maka tak ada yang salah jika negara kini menutup situs radikal.