Bogor – Penangkapan dua siswa sebuah sekolah menengah pertama (SMP) swasta terkait radikalisme dan terorisme di Samarinda beberapa waktu lalu (lihat : Disni) menghentak sejumlah pihak, ini kemudian memunculkan pertanyaan apakah radikalisme telah benar-benar masuk ke lingkungan sekolah?
Menjawab pertanyaan ini, direktur Deradikalisasi BNPT, Prof. Dr. Irfan Idris, M.A menyebut kejadian ini sebagai bentuk dari kegalauan siswa yang kini mulai krisis jati diri kebangsaannya.
“Itu bentuk kegalauan siswa yang krisis jati diri berbangsa. Jenuh dengan simbol yang ada tanpa improvisasi isi menu yang mereka sedang cari,” demikian jawabnya saat dihubungi tim Pusat Media Damai melalui whatsapps siang ini, Rabu (09/11/16).
Meski begitu, guru besar di UIN Alauddin Makassar ini mengakui bahwa benih-benih radikalisme telah masuk ke lingkungan pendidikan. Karenanya ia meminta agar pihak sekolah memberi penguatan nilai-nilai kebangsaan dari dalam (internal sekolah), sekaligus ikut membentengi siswanya dari pengaruh luar, utamanya media. Ia menyebut media memainkan peranan krusial dalam penyebaran lambang-lambang ISIS.
Lebih rinci, Prof. Irfan meminta sekolah untuk memberikan kontrol terhadap seluruh elemen sekolah, termasuk guru dan lingkungan sekolah. “Kontrol rohis, guru, kepala sekolah, orang tua (siswa, red) dan lingkungan sekolah. wujudkan sinergitas,” lanjutnya.
Pihaknya mengakui bahwa radikalisme tidak bisa dianggap sepele; ancamannya begitu nyata dan sangat berbahaya. Terutama untuk lingkungan pendidikan, ia menjelaskan bahwa radikalisme bukan hanya telah masuk ke lingkungan SMP, tetapi bahkan telah masuk di lingkungan PAUD. Karenanya ia meminta agar sinergitas antara masyarakat dan lingkungan sekolah terus diperkuat agar radikalisme tidak mendapat tempat.