Radikalisme Kelompok Uigur Masuk Indonesia via Jaringan Teroris Santoso

Jakarta – Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla menyatakan Pemerintah Indonesia prihatin dengan penindasan dan kekerasan yang dialami oleh Suku Uighur di Provinsi Xinjiang, Tiongkok. Meski begitu, JK menilai kasus kekerasan etnis Uighur harus dilihat dari dua sisi.

Wapres JK mengatakan kasus kekerasan muslim Uighur harus dibedakan antara perlakuan diskriminatif dan kemungkinan adanya radikalisme di wilayah tersebut.

”Pemerintah tetap (mendukung) suatu penegakan Hak Asasi Manusia (HAM) kalau terjadi diskriminatif dalam agama, melanggar ketentuan atau kesepakatan kita terhadap HAM secara internasional yang harus juga ditaati oleh pihak Tiongkok,” kata Jusuf Kalla, di kantornya, Jakarta, Kamis (20/12).

Sisi lainnya, lanjut JK,  terkait kemungkinan adanya radikalisme di wilayah tersebut. Ia menyebut radikalisme dari etnik Uighur telah masuk ke Indonesia via jaringan teroris Santoso di Poso. Mereka saat itu ikut perang dan membantu Santoso.

”Ada 12 orang yang ikut perang di Poso, itu orang Uighur. Kita juga memahami, agar dibedakan apa yang terjadi. Bisa juga radikalisme, malah radikalisme itu sampai ke Indonesia,” kata JK.

Baca juga : Seorang Terduga Teroris Diamankan Densus 88 Antiteror di Lhokseumawe

Kedatangan orang-orang Uighur di Poso diperkirakan lantaran adanya seruan atau imbauan Santoso di media sosial bahwa orang Asia yang ingin bergabung dengan ISIS, harus belajar dan latihan di Poso terlebih dahulu.

Kelompok ISIS di Suriah juga meminta kelompok MIT pimpinan Santoso agar memberi pelatihan tempur kepada orang-orang etnik Uighur.

”Ada enam orang yang ikut dari Uighur itu meninggal, empat ditahan,” kata JK.

”Jadi, juga agar dipahami bahwa bisa juga terjadi adanya radikalisme,” tukasnya lagi.

Sebelumnya, Konsul Jenderal Tiongkok di Surabaya, Gu Jingqi mengatakan, persoalan yang dialami suku Uighur merupakan masalah separatis yang muncul dari sebagian kecil warga setempat.

“Warga muslim Uighur di Xinjiang sekitar 10 juta jiwa, sebagian kecil berpaham radikal ingin merdeka, pisah dari Tiongkok. Itu yang kamiatasi,” kata Jingqi kepada Antara di Surabaya, Jumat (13/12).

Jumlah warga etnis Muslim Uighur sekitar separuh dari populasi warga Muslim di Tiongkok. Sehingga, Jingqi beranggapan tindakan yang dilakukan terhadap etnis Uighur bukanlah bentuk intoleransi terhadap kaum minoritas di Tiongkok. Warga Muslim di Tiongkok, sambung Jingqi, sebanyak 23 juta jiwa dan diperlakukan sama dengan warga yang lain.

”Meskipun minoritas, mereka tidak dibatasi dalam menjalankan ibadah sesuai kepercayaan mereka,” Jingqi menegaskan.