Radikal, Radikalisasi, Radikalisme

Beberapa hari terakhir ini pecah lagi pergunjingan di dunia maya, yang dipaksakan menjadi sebab adalah statemen direktur deridikalisasi BNPT, Prof. Irfan Idris, tentang mengajari anak mengaji dan sholat adalah bentuk radikal dan radikalisasi. Statemen tersebut disampaikan dalam sebuah Seminar Nasional “Radikalisme Agama Dalam Persepktif Global dan Nasional” di Auditorium Harun Nasution, UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat, Kamis (11/6/2015).

Tidak lama setelah statement tersebut disampaikan, muncul pemberitaan di salah satu website dengan menggunakan headline berbunyi: “BNPT: Mengajari Anak Mengaji dan Sholat Adalah Bentuk Radikalisasi”. Nyaris tidak ada yang salah dengan isi berita itu, karena Prof. Irfan memang menyatakan bahwa beragama adalah bentuk radikal.

Hal yang agak mengganggu adalah munculnya rantai komentar terhadap berita tersebut. Beberapa bahkan tidak sungkan untuk mengumbar sumpah serapah kepada si empunya statemen dengan beranggapan bahwa Profesor yang juga juru bicara resmi BNPT tersebut meracau kacau. Hal ini tentu menunjukkan bahwa mereka tidak paham makna radikal dan radikalisasi serta konteks saat statement tersebut dilontarkan.

Prof. Irfan dalam kesempatan itu menyampaikan kepada sekitar ribuan peserta seminar bahwa beragama adalah radikal. Oleh karenanya mengajari anak sholat dan mengaji adalah radikalisasi. Beliau melanjutkan, radikal dan radikalisasi tentu boleh dalam beragama, karena keduanya bermakna sebuah upaya pemberian pemahaman secara komprehensif. Sementara radikal dan radikalisasi diperbolehkan, hal yang dilarang dalam beragama adalah radikalisme, karena –isme adalah paham, sementara agama tidak sama dengan paham.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) juga disebutkan bahwa radikal berarti, mendasar (sampai ke akar), (dalam konteks politik) amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak. Maka dalam konteks ini tidak ada yang salah dengan statemen Prof. Irfan. Karena beragama memang radikal, sholat dan mengaji juga radikal, karena semua itu merupakan rangkaian yang membuat kita mengalami kemajuan dalam berpikir dan bertindak.

Beragama adalah menumpahkan harapan agar segalanya dapat menjadi lebih baik. Perkara ritual ibadah yang kemudian menjadi kewajiban adalah ‘bonus’ tambahan. Oleh karenanya, beragama adalah radikal, sementara menjalankan ritual dan syariat yang berlaku dalam agama adalah radikalisasi.

Sebaliknya, radikalisme dalam beragama dilarang sebab semangat politisasi agama lebih mencolok dibandingkan aplikasi ajaran utama agama; cinta kasih dan persaudaraan. Bentuk radikalisme agama adalah menggunakan agama sebagai alasan dalam menuntut perubahan habis-habisan (bahkan jika perlu dengan kekerasan) terhadap perundang-undangan maupun pemerintahan. Agama tidak lagi dimaknai sebagai ‘media’ untuk mengenal dan mencintai Tuhan melalui perilaku dan pikiran baik terhadap alam dan sesama, tetapi lebih kepada alat untuk merebut kekuasaan.

Upaya untuk menggulingkan sistem demokrasi dan menggantinya dengan khilafah misalnya, merupakan salah satu bentuk nyata dari radikalisme agama; dimana agama dipaksa untuk menjadi alasan utama bagi upaya penggulingan kekuasaan yang sedang berlaku. Maka dalam konteks itu, radikalisme tentu dilarang dalam agama. Ciri utama dari radikalisme agama adalah kecintaan berlebihan terhadap agama hingga menimbulkan semacam kebenaran tunggal, dimana kelompok atau orang lain yang berbeda paham akan langsung dicap salah.

Kembali pada konteks Prof. Irfan Idris, sebagai salah satu pembicara dalam seminar nasional yang diadakan di kampus UIN Jakarta tersebut, beliau awalnya menjelaskan tentang 6 jenis radikalisme yang meliputi; gagasan, milisi, separatis, premanisme, terorisme, dan lain-lain. hingga kemudian beliau mengajak kita untuk berhati-hati terhadap istilah radikal dan radikalisme. Karena hanya radikalisme saja yang dilarang, sementara radikal dan radikalisasi merupakan bagian penting dalam beragama.

Penjelasan prof. Irfan ini tentu penting, terutama mengingat bahwa kata “radikal” telah begitu ‘lumrah’ disalah artikan. BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) misalnya, hanya ‘berurusan’ dengan radikalisme yang mengarah pada terorisme. Sementara 5 jenis radikalisme yang lain, berada di luar jangkauan tugas BNPT, demikian jelas Profesor yang juga alumni fakultas Syariah UIN Jakarta tersebut.

Karenanya, munculnya cibiran hingga cacian di dunia maya terkait dengan statement Prof. Irfan di atas tentu mengenaskan. Rasa benci yang berkelindan dengan sikap acuh tak acuh sepertinya telah lebih menggurita dibanding dengan semangat untuk belajar atau paling tidak mencari tahu makna dari radikal dan radikalisasi sebelum memaki. orang menyampaikan sesuatu yang baik masih saja diputar balik, terus maunya apa?