Penyebab Warga Australia Bergabung ISIS

KOMPAS.com – Di Sydney, Australia, dua pemuda mencoba pergi ke Timur Tengah untuk bergabung dengan kelompok teroris ISIS. Sementara di Melbourne, teman-teman dan keluarga Jake Bilardi bersedih setelah remaja tersebut diduga melakukan aksi bom bunuh diri di Irak.

Itulah sekelumit contoh anak muda Australia yang mengalami radikalisasi. Tapi apa yang menyebabkan hal itu terjadi?

Zaky Mallah (31) adalah salah seorang yang pernah mengalami hal serupa. Ia mengaku tahu bagaimana rasanya sebagai pemuda Australia ditarik untuk pergi ke Timur Tengah dan terlibat dalam konflik di sana.

Saat berusia 19 tahun, Mallah membuat video dirinya sendiri, dan mengatakan bahwa ia akan melakukan serangan terhadap kantor-kantor pemerintah di Sydney. Akibatnya, ia dijadikan tersangka berdasarkan undang-undang anti-terorisme.

Mallah kemudian ditahan di penjara superketat di New South Wales, dikenal dengan nama penjara Goulburn Supermax selama dua tahun, sebelum akhirnya dibebaskan. Sekarang Mallah kembali berurusan dengan pihak keamanan, termasuk agen rahasia Australia, atau ASIO, tapi kini untuk berbagi wawasan dan pengetahuan.

“Paspor saya dibatalkan oleh ASIO di tahun 2002. Saya sangat marah,” kata dia. “Tapi saya bukanlah penyendiri, saya sangat marah karena kebebasan diri yang diambil,” ujarnya.

Dirinya mengaku kalau satu dari alasan mengapa anak muda tertarik untuk bergabung dengan kelompok yang menamakan diri Negara Islam itu, adalah karena alasan sebagai ‘medan perang’.

“Kita suka senjata, senapan, tank, seperti layaknya sebuah permainan,” ujarnya. “Tapi yang satu ini, adalah perang nyata, bukan semacam permainan perang seperti di PlayStation atau Xbox.”

Menurutnya, meyakinkan pada anak-anak muda bahwa berangkat ke Suriah untuk berjuang bersama atau ISIS adalah hal yang sangat sulit.

“Karena kita punya keyakinan bahwa khalifah harus berdiri,” ujarnya. “Saya sangat percaya bahwa kekhalifahan setelah Kekaisaran Ottoman akan berdiri suatu saat, tetapi saya tidak percaya bahwa ISIS adalah khalifah yang tepat.”

Narasi berbeda

Hizbut Tahrir, salah satu gerakan politik Islam, juga percaya perlu adanya pembentukan kekhalifahan. Tapi organisasi ini banyak mendapat kritikan tajam dari Perdana Menteri Tony Abbott, yang menyebut “sangat tidak Australia” dengan alasan apa pun untuk membentuk organisasi teroris.

Kepolisian Federal Australia (AFP) membentuk tim yang mengurus hubungan dengan komunitas Muslim di Melbourne, pertama kalinya di tahun 2007. Model kerja sama seperti ini kemudian dibentuk juga di kota-kota lainnya.

Tujuannya adalah untuk memperkuat hubungan antara komunitas Islam dan membangun kepercayaan.

Tapi Ali Kadri, salah satu ustaz dari Holland Park Mosque di Brisbane mengatakan, kepercayaan ini justru terkikis saat politisi mengecam bentuk ekstremisme Islam “untuk kepentingan politik sendiri”.

Kepolisian Federal Australia (AFP) menyatakan, hubungan yang lebih baik dengan komunitas Muslim berarti kerja sama yang baik dalam penegakan hukum dan operasi polisi, seperti operasi anti-terorisme.

Kepolisian Federal Australia sering menggelar sejumlah kegiatan bersama komunitas Muslim. Misalnya, di akhir bulan Ramadan, membuka kesempatan umat Muslim bertemu dengan pejabat AFP, dan mencoba menanggapi propaganda online dari kelompok-kelompok ekstremis dengan menyediakan narasi yang berbeda.

Tapi menurut Mallah, pemerintah Australia yang menyamakan Hizbut Tahrir sebagai sebuah kelompok teroris adalah kurang tepat.

“Banyak pemuda yang menganggap Hizbut Tahrir sebagai ungkapan ‘lihat, kita tidak perlu lagi ke luar Australia dan bergabung dengan ISIS, kita bisa membentuk kalifah dari Australia’,” tuturnya.

“Bukan berarti kita ingin ada khalifah di Australia, tetapi bisa bergabung dengan kelompok yang memiliki pemikiran yang sama… dan membantu membentuk khalifah dari Australia,” ucap Mallah.

Ia juga mengatakan, “Tapi saat kita melakukan hal tersebut, pemerintah mengatakan ‘kita akan melarangnya dan menyebutnya sebagai kelompok teroris’. Yang selanjutnya mengawasi, mengisolasi, dan memisahkan banyak dari kita, yang berasal dari komunitas Muslim.”

“Saya percaya Hizbut Tahrir adalah pintu gerbang untuk menghentikan para pemuda untuk tidak berpergian ke Timur Tengah atau bergabung dengan ISIS,” tambah Mallah.

Sementara menurut Ustaz Ali Kadri, kunci utamanya adalah mengambil langkah yang justru bisa membantu anak-anak muda dan mereka yang tersingkir dari komunitas Muslim, terutama mereka yang paling rentan terhadap ideologi ekstremis.

Profesor Anne Aly, salah satu pendiri organisasi People Against Violent Extremism, mengatakan, ia pun agak “behati-hati” dengan pendekatan di mana pemerintah mengidentifikasi siapa yang berisiko mengalami radikalisasi dan mendorong mereka untuk diawasi.

“Ada begitu banyak perlawanan terhadap segala ide yang dirancang pemerintah, atau konsep kebijakan … radikalisasi,” kata dia. “Tindakan perlu dilakukan oleh mereka yang pernah sukses merangkul orang-orang muda.”

Profesor Aly juga mengatakan meski operasi intelejen dan pengawasan memiliki peranan penting dalam mengatasi radikalisasi, pemerintah sebaiknya tidak melakukannya dengan pendekatan keamanan nasional yang ketat.

“Karena dengan menganggapnya sebagai masalah keamanan nasional, maka akan ditanggapi dengan penyelesaian masalah keamanan nasional,” jelasnya.

Integrasi komunitas

Peter Neumann, direktur dari Pusat Kajian Radikalisasi di London, Inggris, mengatakan bahwa 100 anak muda, baik pria dan wanita, yang bergabung dengan kelompok radikal, bukanlah Muslim yang saleh atau taat.

“Banyak di antara mereka memiliki masa lalu yang bermasalah,” ujar Neumann.

Neumann yang pernah berpidato soal pengentasan kelompok ekstremis di Gedung Putih, Amerika Serikat ini mengatakan, marjinalisasi atau pengucilan diikuti dengan pengangguran dan pendidikan yang kurang, menjadi beberapa alasan mengapa anak-anak muda di negara barat terlibat kelompok ekstremis.

“Dan tentunya karena kepribadian, latar belakang, motivasi dan pengalaman di Suriah dan Irak sangat berbeda dengan pemerintah di negara barat. Mereka pun memiliki tantangan dan masalah yang berbeda-beda,” ujarnya.

Neumann yang pernah bekerja di Dewan Keamanan PBB mengatakan tindakan pencegahan harus menjadi prioritas dalam mengatasi ancaman teroris.

Menurutnya internet adalah senjata terkuat untuk menyebarkan ideologi, yang menjadi alat bagi para teroris.

Model integrasi dan merangkul antar komunitas di negara-negara barat menjadi salah satu hal paling terpenting untuk pencegahan, tambah Neumann.

“Mereka kadang merasa, karena siapa mereka, seperti apa mereka terlihat, dari mana mereka berasal, yang membuat mereka tidak merasa bagian dari kita,” ujar Neumann.

sumber : kompas.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *