Melbourne – Duka mendalam dirasakan warga Melbourne atas kematian Sisto Malaspina, pemilik kedai kopi ikonik di Melbourne yang menjadi korban serangan teroris di Bourke Stree, Melbourne (9/11).
“Saya menangis, Sisto telah dibunuh,” tulis penulis Melbourne Arnold Zable dalam penghormatan tulus kepada temannya, pemilik restoran terkenal di Melbourne, Sisto Malaspina.
Serangan di Bourke Street itu menimbulkan rasa duka mendalam bagi warga Melbourne, pemilik kedai ikonik di kota mereka yang mereka kenal sebagai sosok yang ramah tewas dalam serangan yang tidak terduga, Sisto Malaspina pamit untuk pergi berjalan-jalan sebentar di sore hari dan tidak pernah kembali.
Pada hari Sabtu (10/11), jendela depan restoran mereka dihiasi dengan fotonya, sebuah penghargaan dan karangan bunga. Di luar restoran, lebih banyak karangan bunga mulai menumpuk dari pelanggan yang telah lama mengenal dan mencintainya.
Arnold Zable pertama kali bertemu Malaspina di Pellegrini pada tahun 1975, dan Malaspina memanggilnya “Artista”, meskipun dia belum menjadi penulis.
Baca juga : Penggalangan Dana Online untuk Pria Pencegah Serangan Teroris di Melbourne
“Aku selalu kemari, baik ketika aku sedang baik-baik saja maupun ketika sedang sedih. Dan ketika aku sedang sedih, Sisto akan selalu menyemangatiku. ‘Hei, artista. Bagaimana kabarmu?’
“Pernah, dulu sekali, setelah aku putus dengan partner lama, aku menghabiskan malam di Pellegrini.
“Di dapur. Di dekat tungku. Memasak di rumah. Mamas yang hangat. Dan Sisto. ‘Hei, artista. Bagaimana kabarmu hari ini?'”
Kisah Zable, yang dengan fasih diceritakan di akun Facebook-nya, adalah salah satu yang berulang kali dikutip orang dalam perbincangan di media sosial, di rumah dan kafe, dan di luar Pellegrini, di mana pelayat terus berkumpul akhir pekan ini.
Bar espresso ini bukanlah kedai kopi sembarangan. Kedai itu telah berdiri di sana di salah satu jalan tersibuk di kota Melbourne sejak 1950-an. Malaspina dan temannya Nino Pangrazio mengambil alih pada tahun 1974.
“Pellegrini adalah segalanya yang indah tentang kota ini,” tulis Zable.
“Perwujudan transformasi, Pasca perang. Ketika Yunani, Yahudi, Italia, Jugoslavia, kami wogs dan dagos, datang ke sini untuk mencari kehidupan baru. Bekerja di pabrik. Mendirikan usaha kecil. Membawa kita lagu-lagu dari tanah yang jauh.”