Yogyakarta – Pemblokiran 22 situs online pemuat gagasan radikal beberapa waktu lalu, yang kemudian dibatalkan setelah kebanjiran protes, dianggap memiliki kelemahan secara konseptual.
Meskipun demikian, peneliti Center for Religious and Cultural Studies (CRCS), Universitas Gadjah Mada, Muhammad Iqbal Ahnaf, menilai pemblokiran situs penyebar gagasan Islam radikal di Internet masih diperlukan.
Akan tetapi, dia mengkritik kategorisasi situs radikal yang disusun oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme masih lemah dan mudah diperdebatkan. Sejumlah indikator malah terjebak dalam tema teologis yang tidak layak dibatasi. “Acuannya sebenarnya bisa memakai pasal-pasal tentang larangan hate speech,” kata Iqbal, saat berbicara pada acara workshop “Media dan Pengembangan Kesadaran Kritis Masyarakat”, Selasa, 12 Mei 2015. Acara itu digelar oleh Forum Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) DIY, di Auditorium Magister Manajemen UGM.
Menurut Iqbal, tindakan hukum bagi penyebar gagasan radikal secara implisit dan eksplisit perlu dibedakan kadarnya. “Tindakan keras bisa diberlakukan bagi penyebar ajakan eksplisit,” katanya.
Tindakan hukum, tutur Iqbal, bisa memakai dasar larangan hate speech atas nama agama yang diatur dalam Pasal 156 dan 156a KUHP. Ada juga dasarnya di Pasal 28 UU Informasi dan Transaksi Elektronik serta UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas.
Iqbal juga mengingatkan, peran pembatasan penyebaran gagasan radikal tidak bisa mengandalkan lembaga negara saja. Institusi-institusi sipil perlu diajak terlibat aktif mengingat mudahnya penyebaran gagasan radikal via Internet dan jaringan komunitas.
Dia mencontohkan, institusi semacam kampus, sekolah dan ormas keagamaan bisa terlibat dalam pengawasan. Simbol-simbol gagasan radikal mudah merembes secara tak sengaja lewat media mainstream. “Potensinya tidak hanya di media ekstrem,” kata dia.
Iqbal mencatat, pada Februari 2014, sebuah acara televisi swasta pernah menyajikan siaran tentang sejarah Islam yang justru menampilkan bendera ISIS dengan latar kisah riwayat ramalan kebangkitan pasukan Imam Mahdi di akhir zaman. “Ternyata, media mainstream pun bisa terjebak ke glorifikasi teroris,” kata dia.
Sementara itu, anggota FKPT DIY, Mukhtasar Samsudin, mengatakan narasi mengenai gagasan terorisme sering kali justru memikat kalangan terdidik. Hasil riset FKPT DIY pada 2013 menyimpulkan narasi terorisme menjadi isu seksi di kalangan kampus. “Beredar di sebagian komunitas masjid kampus di Yogyakarta,” kata Dekan Fakultas Filsafat UGM itu.
Namun, menurut Mukhtasar, riset yang berlanjut pada 2014 untuk memetakan potensi gerakan teror tersebut, juga menyimpulkan narasi teroris sering kali hanya sekadar menjadi konsumsi informasi. Mukhtasar mengatakan FKPT DIY belum menemukan korelasi antara kegemaran mengkonsumsi narasi terorisme dan persetujuan untuk melakukan aksi teror. “Mungkin karena menyebar di kalangan yang teredukasi di kampus,” ujar dia.
Yogyakarta, dalam riset itu, hanya masuk kategori kawasan dengan karakter umum masyarakatnya yang memiliki sikap toleransi malas. “Misalnya, bersikap toleran asal tidak menyinggung masalah ajakan pindah agama atau peribadatan,” katanya.