Jakarta- Katib Aam Syuriyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Abdul Malik Madani mengatakan gerakan radikal yang mengatasnamakan Islam adalah akibat kesalahan dalam menafsirkan ajaran agama yang terkandung dalam Al Quran dan Hadits.
“Sebenarnya niat mereka baik, ingin mengamalkan Al Quran dan Al Hadits secara kaffah, namun mereka salah jalan,” kata Malik di Jakarta, Kamis.
Akibatnya, mereka berperilaku seperti orang-orang “khawarij” (kelompok garis keras yang muncul di era kepemimpinan khalifah Ali bin Abi Thalib) yang mengkafirkan orang-orang yang tidak segolongan.
“Tidak hanya itu, mereka pun menghalalkan darah orang-orang yang mereka kafirkan,” tutur Guru Besar Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta itu.
Untuk menangkal merebaknya ideologi Islam garis keras, kata Malik, pemahaman ajaran Islam ala Ahlusunnah Wal Jamaah (Aswaja) yang asli harus didakwahkan terus menerus di tengah-tengah masyarakat.
“Karena Aswaja yang asli adalah yang mengajarkan toleransi, keseimbangan, musyawarah, keadilan, dan persamaan derajat,” tuturnya.
Pendapat senada dikemukakan Ketua Lembaga Bahtsul Masail PBNU KH Muhammad Cholil Nafis. Ia menyebut gerakan radikalis teroris yang mengatasnamakan Islam adalah akibat tidak paham dengan istilah negara Islam.
“Mereka menganggap Daulah Islamiyah kalau diberi nama Islam. Padahal, Islam tidak menentukan model negara,” ucap Cholil yang juga Komisi Dakwah Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Menurut dia, asal di dalam suatu negara itu ada kesatuan dan kemaslahatan bagi umat beragama, maka bisa disebut sebagai negara Islam.
“Al Quran mengatakan bahwa Islam adalah agama wasathi (moderat), yaitu menjadikan umat pilihan yang adil dan pertengahan dari ekstrem kanan dan ekstrem kiri,” ujarnya.
Menurut Cholil, nilai-nilai Islam senantiasa humanistik dan toleran. Kalau ada gerakan Islam yang antikemanusiaan dan memaksakan kehendak dengan kekerasan destruktif, jelas bukan gerakan Islam.
“Karena itu jangan sampai diikuti,” kata kiai muda lulusan Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Arab Saudi dan University of Malaya, Malaysia itu.