Negara Menutup Paksa Situs, Kenapa Tidak?

Mulai siang jelang sore hingga dini hari, jagat twitter dipenuhi pembicaraan terkait rencana penutupan akses sejumlah situs yang mengatasnamakan media Islam. Situs-situs itu disinyalir menyebarkan gagasan radikal keagamaan atau terdeteksi memiliki hubungan, meski secara ideologis, dengan sejumlah gerakan teror internasional.
Pertanyaan mendasarnya, bolehkah negara melakukan pemblokiran terhadap situs-situs bermasalah tersebut? Sebagai orang yang kerap membuka situs-situs tersebut saya justru berpendapat kenapa negara tidak melakukan pemblokiran sejak dulu?! Saya haqqul yakin bahwa isi dan substansi dari sejumlah situs, baik yang namanya sudah beredar maupun yang tidak beredar, memang layak untuk direspon tegas oleh negara. Pasalnya, situs-situs itu kerap melakukan penyiaran yang membenturkan antara agama dan negara, bahkan secara radikal. Belum lagi soal sikap pembelaan sejumlah situs terhadap aksi teror dan kekerasan yang terjadi atas nama agama.

Saya akan menyajikan sejumlah contoh dimana situs yang dianggap bermasalah itu menlancarkan aksinya. Pertama, penggunaan diksi simpatik radikalisme dimana mereka kerap menyebut bom bunuh diri dari kelompok ISIS sebagai bom syahid. Padahal, menurut para ulama besar Islam apa yang dilakukan ISIS bukan bagian dari Islam dan Jihad. Karenanya, meledakkan diri sendiri bukan syahid melainkan mati konyol!

Kedua, saat menggambarkan perlawanan terhadap pemerintah di Syiria yang menyebabkan matinya anggota ISIS mereka menyebut sebagai gugur. Siapapun yang berakal sehat pasti sanggup mengatakan bahwa diksi gugur hanyalah untuk para pejuang dan pahlawan. Sementara mereka yang sudah dinyatakan keluar dari ajaran Islam tidak layak mendapat predikat itu.

Dua hal di atas baru sekedar contoh yang bisa ditemukan. Belum lagi persoalan menganggap kafir kelompok Islam yang tidak sejalan dengan garis keras pikiran mereka. Tentu jika digambarkan secara detail, masyarakat pasti akan mengerti kenapa negara berniat kuat menghilangkan peredaran situs tersebut. Karena boleh jadi bahaya yang bakal ditimbulkan sama buruknya dengan bahaya pornografi dan judi online.

Pada prinsipnya pemangku kebijakan negara memiliki kewajiban untuk menjamin keselamatan warga negaranya, termasuk dari gangguan paham radikalisme terorisme. Jika menjaga keselamatan bangsa dan negara dalam konteks ini harus dengan cara pemblokiran maka, upaya itu merupakan satu keharusan. Dalam bahasa kaidah agama disebut, maa laa yudrikul wajib illa bihi fahuwa wajib.

Cobalah sedikit saja berfikir jernih, bangsa kita dalam pemberantasan aksi radikalisme dan terorisme nyaris serupa dengan pemadam kebakaran. Negara dan juga kita sering bersikap terlambat merespon gejala-gejala kekerasan agama. Pemberantasan gerakan radikal hanya selalu dilakukan saat radikalisme telah menimbulkan korban jiwa. Persis seperti pemadam kebakaran tadi yang hanya menyemprot air di saat api berkobar.

Pola pikir pemadam itu tidak memberi ruang pada tindakan antisipasi. Selalu saja disibukkan pada urusan hilir dan akibat, bukan pada hulu dan sebab. Fakta membuktikan, kebakaran terjadi lebih pada akibat kelalaian manusia (human errors) saat berhadapan dengan listrik. Kabel usang yang tak kunjung diganti meski sudah melebihi ambang pakai, penempatan aliran listrik yang tidak semestinya, dan sebagainya.

Demikian soal radikalisme terorisme ini misalnya, negara termasuk kita di dalamnya, gagal melakukan antisipasi terhadap sejumlah aktifitas sejumlah WNI di Afghanistan di kisaran tahun 1980-an. Akibatnya, saat pulang ke tanah air mereka berjejaring kembali dan dengan isu teranyar lalu meledakkan sejumlah bom hingga tewaskan ratusan orang. Kalau sudah jatuh korban siapa lagi yang bertanggung jawab kalau bukan negara?!

Dalam hal situs radikal, logika di atas pun masih cukup relevan. Nampaknya, negara mengunakan kuasa dan otoritasnya untuk melakukan langkah-langkah antisipatif perindungan bagi warganya. Para pemegang kebijakan pasti tahu betul bahwa tindakan tersebut boleh jadi menimbulkan reaksi kemarahan pada sejumlah orang yang tidak paham pokok peroalan. Itu lumrah. Yang terpenting negara telah berjalan di atas jalur yang benar.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *