Nasionalisme Bidah yang mudharat atau hal biasa ?

Jakarta- Pertanyaannya sederhana: Apakah Islam membenarkan nasionalisme dan gagasan negara-bangsa atau tidak? Atau gagasan negara-bangsa itu bid’ah dan sebagai gantinya kita harus mengembangkan gagasan khilafah universal melampaui itu semua?

Al-Qur’an memang menyebut misi nubuwah sebagai menebarkan rahmat bagi seluruh alam. Benar. Itu memang tujuan akhir risalah Islam. Tetapi, gagasan nasionalisme, yang tidak chauvinistik dan negara-bangsa bisa dilihat sebagai sarana pendekatan untuk mencapai tujuan itu.

Bukankah Allah juga mengajarkan: “Jauhkan dirimu dan keluargamu dari neraka” (QS. 6:66). Kenapa cuma diri dan keluarga, bukan semesta alam? Karena “alam yang terahmati” itu tujuan, sedangkan mulai dari diri dan keluarga itu merupakan sarana. Tentu tidak realistis kalau berniat mengurus alam tanpa penahapan-penahapan. Dalam manajemen, ada perencanaan jangka pendek dan panjang, segmentasi dan positioning, pengembangan model, dan pilot project, dan sebagainya.

Menurut Ibn Khaldun, manajemen masyarakat dan pembentukan peradaban (‘umran) membutuhkan semacam nasionalisme yang disebutnya ‘ashabiyah. Ashabiyah yg dimaksud adalah kohesi sosial yang terbentuk dalam kabilah-kabilah atau klan-klan. Menurut Khaldun, inilah jaminan survival masyarakat manusia. Gagasan ashabiyah inilah sumber gagasan nasionalisme. Hanya dengan ashabiyah, kelompok-kelompok masyarakat bisa menjadi kuat dan menjamin non-agresi.

Gagasan negara-bangsa melahirkan kohesi sosial-primordial: mewujudkan kerjasama, mencegah kecendrungan agresi, dan mendukung manajamen masyarakat. Yang harus dihindari adalah chauvinisme atau jingoisme yang didorong ego kelompok sehingga mengabaikan atau malah melanggar kelompok lain.

Mukadimah Konstitusi kita dengan bijak menyebut Persatuan Indonesia, yang malah lebih pas ketimbang nasionalisme dan, pada saat yang sama, dalam satu tarikan napas menyatakan “ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial ….

Di sini gagasan negara-bangsa dan nasionalisme bertemu kemanusiaan universal (rahmatan lil ‘alamin). Ini nasionalisme yang benar. Hal ini mengambil bentuk partisipasi dalam organisasi-organisasi internasional dan ketaatan kepada aturan-aturan kerjasama antarnegara secara adil & bermartabat.

Lalu, haruskah sebuah negara terdiri dari satu agama saja? Piagam Madinah susunan Rasulullah Muhammad Saw. memperlihatkan sebaliknya. Ia adalah konstitusi yang mengatur koeksistensi dan kerjasama secara damai antara penduduk Madinah dari berbagai suku dan agama dengan diikat aturan yang dsepakati bersama.

Salah satu cuplikan Piagam Madinah menyatakan, “Yahudi Bani Auf adalah satu umat bersama orang-orang mukmin, bagi mereka agama mereka, dan bagi Muslim agama mereka pula ….”

Selain itu, aturan Islam diberlakukan Nabi hanya di hadapan masyarakat Muslim. Nonmuslim tidak digolongkan sebagai mukallaf (bukan obyek hukum Islam).

Karenanya mari syukuri anugerah NKRI, yang pluralistik, serta memiliki Pancasila dan Konstitusi yang saksama dan dihuni oleh penduduknya yang berbudaya. Kita tentu tak lupa firmanNya:

“Jika Allah mau, kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah ingin menguji kamu atas pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah dalam kebajikan.” (QS 5:48)

Maka mari berlomba dalam kebajikan. Mari bersama-sama berjihad mempertahankan NKRI dari siapa saja yang akan membasmi keharmonisan dan keberagaman masyarakat dan budayanya. WalLah al-Musta’an. [ islamindonesia ]

Sumber : inilah.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *