Mewaspadai Balas Dendam Al Qaeda dan ISIS Terkait Penembakan di Selandia Baru

Jakarta – Situs pemantau aktivitas media kelompok teroris mengimbau mengenai adanya rencana aksi balas dendam di beberapa lokasi dari kelompok Al Qaeda, ISIS, dan yang terafiliasi terkait penembakan di masjid Selandia Baru.

Masjid Al Noor dan Linwood Islamic Centre di Christchurch, Selandia Baru menjadi sasaran pelaku bersenjata yang menyerbu dua tempat itu ketika umat Islam setempat hendak menggelar Shalat Jumat.

Sebanyak 50 orang tewas dalam insiden itu termasuk beberapa warga negara asing dengan perincian 42 orang tewas di Masjid Al Noor, sedangkan tujuh orang lainnya tewas di Masjid Linwood dan satu lagi di rumah sakit.

Salah seorang pelaku, Brenton Harrison Tarrant (28) telah didakwa pada 16 Maret 2019 dengan pasal pembunuhan. Sementara tiga tersangka lainnya masih ditahan setelah penembakan.

Baca juga : Facebook Hapus 1,5 Juta Video Terkait Penembakan di Selandia Baru

Brenton Tarrant disebut sebagai seorang ekstremis sayap kanan dan pendukung ‘supremasi kulit putih’.

Usai kejadian itu, SITE Intelligence Group mencatat pada 15 Maret 2019 bahwa “baik Al Qaeda dan kelompok terafiliasi ISIS, menyatakan kemarahan mereka dalam bentuk menuntut dan menghasut untuk membalas dendam,” demikian seperti dikutip dari laman resmi situs pemantau itu, Minggu (17/3/2019).

SITE juga menerima informasi mengenai “seorang pendukung ISIS yang mendesak teroris tunggal (lone wolf) untuk menyerang kerabat penembak dan juga untuk menyerang gereja,” usai penembakan di masjid Selandia Baru.

Situs itu juga mencatat mengenai “imbauan terhadap jaringan dan kelompok terafiliasi ISIS di Indonesia untuk menargetkan serangan kepada turis Australia” sebagai bentuk respons atas komentar negatif dari Senator Fraser Anning dari Queensland, Australia yang mengatakan bahwa kejadian di Christchurch “disebabkan oleh imigrasi muslim ke Selandia Baru.”

Polisi dan agen keamanan Selandia Baru diperkirakan akan menyisir catatan telepon, email dan media sosial, untuk mencegah komunikasi setelah serangan Christchurch, kata seorang mantan perwira intelijen negara (NZSIS).

Dr Rhys Ball, mantan perwira NZSIS yang kini menjadi akademisi di Universitas Massey mengatakan bahwa Biro Keamanan Komunikasi Pemerintah (GCSB) dan NZSIS akan membantu mengumpulkan intelijen, dan mungkin melakukan pengawasan terhadap target, demikian seperti dikutip dari NZ Herald.

Sementara itu, Polri mengatakan tengah melakukan sejumlah langkah untuk mengantisipasi potensi ‘kerawanan’ di Tanah Air yang mungkin terinspirasi dari peristiwa yang telah menewaskan 50 orang itu, termasuk seorang WNI.

“Polri sudah mempersiapkan langkah-langkah antisipasi untuk memitigasi potensi kerawanan tersebut. Berkoordinasi bersama Polda, Pam Obvit, kantor-kantor kedutaan besar dan konsulat jenderal (di Indonesia)” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karo Penmas) Divisi Humas Polri, Brigjen. Pol. Dedi Prasetyo, seperti dikutip Liputan6.com, Minggu (17/3/2019).

Dedi menambahkan bahwa tim Detasemen Khusus 88 dan Satgas Anti-Teror “terus melaksanakan monitoring setiap pergerakan sleeping cells yang sudah di-profiling.”

Ia juga mengingatkan bahwa “Polri bisa melakukan preventive strike kepada para terduga yang akan melaksanakan aksi teror, sesuai dengan UU No.5 Tahun 2018 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme.”