Sampai saat ini istilah deradikalisasi masih cukup kontroversial. Sebenarnya dalam aspek konseptual dan implementasi, deradikalisasi memang layak diperdebatkan dan terbuka ruang untuk selalu dikaji dan disempurnakan. Namun, sangat disayangkan jika kontroversi ini hanya didasari oleh asumsi-asumsi non-ilmiah dan penuh kecurigaan semisal deradikalisasi proyek Barat, deradikalisasi mengancam keimanan dan kecurigaan tak berdasar lainnya.
Deradikalisasi muncul sebagai suatu konsep kebijakan ketika menyadari bahwa tindakan dan aksi terorisme merupakan buah dari radikalisasi. Karena itulah, sebaiknya agar tidak ada kesalahan pemahaman terhadap deradikalisasi, di sinilah sangat penting memahami radikalisasi secara utuh. Radikalisasi merupakan proses tidak instan dan membutuhkan banyak tahapan yang menggiring seseorang dari kehidupan normal menjadi radikal. Dalam pemahaman demikian deradikalisasi pun bukan kebijakan menyulap pelaku teror langsung menjadi insaf. Butuh banyak proses yang harus dilalui dan butuh banyak keterlibatan seluruh pihak.
Saya ingin berangkat dari pembahasan radikalisasi. Cilluffo and Saathoff membagi proses radikalisasi melalui dua bagian; radikalisasi individual dan kelompok. Radikalisasi individual merupakan hasil dari terpaparnya seseorang dengan sumber online maupun seorang kharismatik yang memiliki pemikiran yang ekstrim. Inilah yang kemudian dikenal sebagai serigala tunggal (lone wolf) yang mengalami proses radikalisasi dengan sendirinya (self-radicalization). Ia tidak harus terhubung dengan jaringan teror, tetapi sangat rentan pada waktunya direkrut dalam jaringan teror. Tipe kedua radikalisasi kelompok adalah proses di mana kelompok mencari dan mempengaruhi individu yang rentan untuk direkrut dalam jaringan teror. Radikalisasi kelompok ini lebih sistematis terstruktur dan top-down recruiting.
Selain itu, kategori radikal itu banyak ragamnya baik perorangan maupun kelompok. Ada kelompok/perorangan yang mengabsahkan kekerasan sebagai satu-satunya jalan keluar. Kelompok kategori ini tidak hanya melakukan kekerasan, tetapi secara ideologis melegitimasi kekerasan sebagai cara perubahan baik kekerasan kepada masyarakat sipil atau aparat. Kelompok inilah yang sering disebut sebagai radikal terorisme atau ekstrimis. Kelompok lain melakukan kekerasan tanpa mengabsahkan kekerasan (Omar Shour: The De-radicalization of Jihadists, 2009).
Jika kita pahami kategori di atas, sasaran deradikalisasi tertuju pada kelompok radikal kekerasan (violent radicals) yang tidak hanya mengekspresikan tindakan kekerasan, tetapi memiliki legitimasi ideologis dalam melaksanakan kekeraasan. Lebih beratnya, legitimasi ideologis itu mereka sandarkan pada ajaran-ajaran keagamaan. Itulah tantangan deradikalisasi. Deradikalisasi itu tidak persoalan merubah perilaku dan tindakan, tetapi sekaligus cara berpikir mereka terhadap kekerasan. Karena itulah, butuh banyak perspektif dan keahlian dalam melakukan deradikalisasi. Butuh keterlibatan seluruh komponen bangsa. Inilah yang kemudian kita sebut “kebijakan deradikalisasi dalam bingkai kebhinnekaan dan sinergi kebangsaan”.
Desain Deradikalisasi
Setelah kita memahami wujud radikalisasi, menjalankan deradikalisasi harus seimbang sejalan dengan proses terjadinya radikalisasi. Dalam NYPD Report, 2007 dengan penelitian terhadap fenomena home grown terrorist di Amerika, ada beberapa tahapan yang disimpulkan dalam proses radikalisasi. Tahapan itu dimulai dari 1) seleksi pra radikalisasi, 2) identifikasi, 3) indoktrinasi dan 4) jihadisasi/aksi. Tahapan ini saya kira berguna dalam memahami dan memetakan kebijakan deradikalisasi mulai dari perumusan dari mana program deradikalisasi dimulai, dengan siapa, dan output seperti apa yang ingin dicapai?
Dalam kebijakan pencegahan terorisme ada dua strategi yang digunakan pertama kontra radikalisasi dan deradikalisasi. Program kontra radikalisasi diarahkan pada masyarakat secara umum dalam rangka membentengi dan menguatkan daya tangkal masyarakat dari pengaruh paham radikalisme. Kegiatan yang dilakukan dalam program ini adalah melalui dialog, pelatihan, workshop dan kegiatan lainnya dalam rangka menumbuhkan awareness masyarakat terhadap pengaruh radikalisme dan terorisme. Kegiatan kontra radikalisasi harus melibatkan seluruh pihak baik kementerian, Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), ormas keagamaan dan masyarakat secara umum.
Sedangkan program deradikalisasi ditujukan pada mereka yang terpapar dengan paham radikal atau dalam rangka memutus setiap tahapan dalam proses radikalisasi mulai dari proses seleksi pra radikalisasi, identifikasi, indoktrinasi dan jihadisasi. Proses seleksi pra radikalisasi sebenarnya benih awal dari munculnya pemahaman radikal. Karena itulah sejak proses ini pemerintah melalui BNPT harus melakukan upaya pemotongan akses seseorang dan kelompok menjadi radikal. Hal ini bisa dilakukan dengan cara kegiatan FKPT sebagai mitra strategis BNPT di daerah harus melakukan kegiatan kontra narasi, kontra ideologi dan kontra propaganda secara lebih instensif khususnya di kantong zona rawan seperti Jawa Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, NTB dan lainnya. Hal ini untuk memutus tahapan seleksi pra radikalisasi.
Tahapan pra seleksi juga bisa terjadi di dunia maya. Karena itulah, kegiatan yang tidak kalah pentingnya adalah kontra propaganda di dunia maya dalam rangka memberikan perimbangan narasi dan konten radikal dengan hal-hal yang bernuansa kebangsaan dan perdamaian. Pelibatan masyarakat sangat dibutuhkan dalam tahapan ini terutama tokoh agama, ulama senior dan tokoh nasional yang memiliki kemampuan baik wawasan fiqhiyah maupun perkembangan keislaman. Tokoh agama dan ulama dengan kapasitas keilmuan agama yang matang terlibat dalam memberikan pemahaman keagamaan yang utuh. Pelibatan ulama sangat penting sebagaimana deradikalisasi di Mesir dan Yaman. Ulama dan organisasi moderat merupakan mitra strategis dalam program deradikalisasi agar mampu memberikan pemahaman keagamaan yang utuh tidak parsial terhadap mereka yang menjadi korban ideologi kekerasan.
Pada tahapan identifikasi yang ditunjukkan dengan peristiwa krisis dan kekosongan identitas seseorang yang mengarah pada sikap radikal, atau tahapan indoktrinasi yang ditujukkan dengan perubahan cara pandang ke arah kekerasan dengan dasar doktrin ideologis program deradikalisasi lebih tepatnya melibatkan tokoh insider, yakni mantan teroris dan tokoh yang sudah kembali pada ajaran moderat dan NKRI. Keunggulan tokoh insider ini mereka sudah memahami alur berpikir kelompok radikal sehingga dapat mudah lupa mengajak mereka untuk kembali pada pemahaman keagamaan yang utuh. Di beberapa negara pelibatan insider juga sudah banyak dilakukan dan terbukti efektif dalam melakukan program deradikalisasi.
Meskipun demikian, kesuksesan deradikalisasi juga bermacam-macam. Ada beberapa tingkatan dalam melihat output yang dihasilkan. Pertama, deradikalisasi ideologis (ideological deradiacalization), yakni seseorang menanggalkan ideologi kekerasan, tetapi secara perialku masih tidak menerima terhadap model demokrasi, keterbukaan dan lainnya. Kedua, deradikalisasi perilaku (behavioral deradicalization), dalam hal ini seseorang bisa saja terbuka untuk berkomunikasi, tetapi secara ideologis ia masih memegang teguh ajaran kekerasan. Ketiga, deradikalisasi organisasi (organizational deradicalization) yang menyasar pada pemimpin kelompok dan dapat mempengaruhi pengikutnya. Kesuksesan deradikalisasi ini sebagaimana terlihat dalam kasus deradikalisasi di Mesir.
Di Indonesia, model deradikalisasi yang dilakukan mengarah pada deradikalisasi secara komprehensif yang dapat mencapai perubahan menyeluruh dalam tiga level; ideologis, perilaku dan organisasi. Dalam hal ini tidak hanya pendekatan deradikalisasi yang digunakan tetapi penggabungan dengan pendekatan disengagement yang bertujuan untuk memisahkan dan memutus mereka yang sudah terpapar dari kelompok dan lingkungannya. Namun, hal terpenting dari seluruh pendekatan yang diambil, kesuksesan deradikalisasi akan sangat ditentukan oleh sinergitas seluruh komponen baik tokoh agama, insider maupun pemerintah untuk bergerak secara simultan dalam melakukan program yang tepat sasaran.