Hingga April 2013 ini, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bersama pemerintah provinsi telah membentuk Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) di 20 provinsi. Sebanyak 15 FKPT dibentuk tahun 2012, sedangkan 5 sisanya dibentuk pada tahun 2013 ini. Pembentukan FKPT mungkin menggelitik banyak pihak, pasalnya selama ini di Indonesia telah terlalu banyak forum dan sebagian besar hanya ramai di awal-awal.
Lantas, mengapa BNPT dan Pemprov membentuk FKPT? Bagaimana kiprah FKPT yang telah terbentuk sejak tahun 2012 lalu?
Pertanyaan-pertanyaan di atas mungkin mewakili sebagian kegelisahan publik yang bertanya-tanya tentang pembentukan berbagai forum di Indonesia. Pada saat yang sama juga mewakili harapan publik agar forum yang satu ini tidak seperti forum-forum lain yang akhirnya mati suri, atau kalaupun tidak, ibarat kata pepatah “hidup segan mati tak mau”. Karena itu, FKPT yang telah terbentuk lengkap dengan pengurus dan program kerjanya, seyogyanya mampu menjawab kegelisahan publik ini dengan kiprah dan kerja-kerja nyata untuk mencegah berkembangnya terorisme.
Urgensi FKPT
Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT), bukan sekadar forum yang dibentuk untuk tujuan sesaat. Forum ini dibentuk dengan agenda besar; untuk mengikis benih-benih radikalisme dan terorisme yang ada di daerah, melalui tindakan penangkalan dan pencegahan (preemtif dan preventif). Sebagaimana diketahui, belakangan ini kecenderungan radikalisme di tengah masyarakat kian menghawatirkan. Sejumlah lembaga melaporkan, meningkatnya tindak intoleransi dan radikalisme di tahun 2012. Setara Insitute, misalnya, melaporkan adanya 264 kasus kekerasan atas nama agama di tahun 2012. Jumlah aksi kekerasan pada tahun 2012 ini mengalami peningkatan secara signifikan dibanding aksi kekerasan yang terjadi sebelumnya (144 aksi kekerasan).
Meningkatnya aksi kekerasan atas nama agama sungguh sangat mencemaskan. Sebab, kekerasan atas nama apa pun jelas tidak dibenarkan. Lebih dari itu, kekerasan atau radikalisme yang terakumulasi dengan berbagai problem seperti ekonomi, sosial, dan sebagainya dapat bertransformasi menjadi tindak terorisme.
Selain meningkatnya kecenderungan radikalisme, sejumlah fenomena patut diwaspadai, seperti adanya mantan terpidana teroris yang kembali menjadi teroris, keterlibatan para pemuda dalam kegiatan terorisme, propaganda radikalisme yang marak melalui buku, majalah, dan internet, maupun melalui ceramah-ceramah.
Mengingat tantangan yang demikian berat dan terorisme merupakan musuh bersama, maka pemerintah tidak bisa bekerja sendiri untuk mereduksi potensi-potensi kekerasan tersebut. Dibutuhkan kerjasama dan koordinasi semua elemen bangsa. Karena itulah, formasi kepengurusan FKPT tidak hanya diisi pemerintah daerah, melainkan melibatkan partisipasi publik yang lebih luas mulai dari tokoh agama, tokoh adat, tokoh ormas, tokoh pemuda, tokoh pendidikan, tokoh media, hingga tokoh perempuan.
Melalui koordinasi yang baik antara berbagai unsur tersebut, diharapkan kerja-kerja deradikalisasi dapat dilakukan secara bersama-sama, massif, berkesinambungan, dan terus menerus di seluruh Tanah Air. Dengan begitu, potensi radikal-terorisme yang ada di daerah dapat segera dicegah, sehingga tidak berbuah menjadi aksi terorisme. Pada titik inilah, deradikalisasi yang dilakukan FKPT menyentuh akar persoalan, tak hanya soal ideologi, lebih dari itu juga menyelesaikan masalah-masalah pemicunya seperti sosial, ekonomi, politik, hingga hukum.
Kearifan Lokal
Agar upaya-upaya pencegahan terorisme yang dilakukan FKPT berjalan efektif, maka nilai-nilai kearifan lokal yang relevan untuk membangun budaya damai seperti toleransi, saling menghargai, persatuan, kekeluargaan, dan kebersamaan perlu dikedepankan. Bagaimanapun, sebagai negeri yang majemuk, Indonesia memiliki ribuan etnis dan budaya yang kaya akan berbagai khazanah kearifan lokal. Masyarakat di daerah akan lebih tersentuh jika budaya dan kearifan lokalnya dihargai. Karena itu FKPT yang sudah terbentuk harus bergerak progresif dengan berbasis pada nilai-nilai budaya setempat.
Di samping itu, mengingat kompleksnya penyebab terjadinya radikalisme dan terorisme, FKPT perlu menggunakan pendekatan multidisiplin, mulai dari agama, pendidikan, ekonomi, sosial budaya, hukum, media massa, maupun pemuda dan perempuan. Melalui pendekatan agama, FKPT dapat menyentuh masyarakat dengan doktrin agama yang santun dan cinta damai untuk menolak segala bentuk kekerasan. Demikian juga melalui pendidikan dapat ditanamkan rasa cinta tanah air sejak dini. Tak ketinggalan pendekatan ekonomi dengan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, pendekatan hukum untuk mengikis rasa ketidakadilan, juga pendekatan sosial budaya untuk membentengi masyarakat dari invasi budaya global yang destruktif.
Tentu tantangan berat untuk menghalau dan mencegah radikalisme dan terorisme tidak hanya berada di pundak para pengurus FKPT. Sebagai forum yang bersifat koordinatif, berbagai program dan pendekatan yang dihasilkan FKPT dikoordinasikan dengan pimpinan daerah dan BNPT untuk ditindaklanjuti melalui program-program kongkret. Dalam hal ini FKPT dapat menjadi jembatan yang menghubungkan antara problem yang ada di tengah masyarakat dengan langkah solutif yang siap dilakukan oleh pemerintah daerah bersama-sama dengan pemerintah pusat.
Pada akhirnya, setelah FKPT terbentuk di 20 provinsi di Indonesia, kini kita tinggal menunggu kiprah dan kerja-kerja kongkret FKPT untuk membentengi masyarakat dari radikalisme dan terorisme. Publik tentu sudah bosan dengan berbagai forum yang mati suri setelah terbentuk. Karena itu, dengan komitmen yang kuat untuk mewujudkan Indonesia yang damai, mari kita buktikan kehadiran FKPT dengan kerja-kerja kongkret dan solutif, tidak hanya hari ini, tapi juga terus menerus ke depan hingga negeri ini benar-benar bebas dari dari terorisme dan radikalisme.