Canberra – Kelompok teroris ISIS telah hancur di dua pusat wilayah mereka, Irak dan Suriah. Kini, ISIS, baik petinggi maupun anggotanya, hidup bergerilya dan ‘bersembunyi’ untuk menghilangkan jejak. Namun kondisi itu tidak menjadikan para pengamat yakin ISIS bakal hilang begitu saja di tahun 2018 ini. Malah ISIS dikhawatirkan akan muncul dalam bentuk lain.
Pakar penumpasan pemberontakan, David Kilcullen tidak menganggap kelompok militan tersebut benar-benar sudah ditumpas atau dikalahkan. Sebaliknya, ISIS yang baru saja kehilangan kendali di wilayah perbatasan Timur Tengah, akan berusaha membangun kembali kelompoknya.
“Cukup adil mengatakan jika kepemilikan teritorial ISIS, yakni semua kota yang mereka kuasai dan kira-kira hampir sepertiga dari Irak dan Suriah, telah dihancurkan,” kata Kilcullen kepada Program ABC The World.
“Apa yang telah kita lihat dari ISIS pada dasarnya kembali ke gaya bergerilya. Ini menunggu waktu dan mencoba membangun kembali. Kita juga melihat adanya perluasan ideologi jihad beserta tekniknya ke jaringan yang lebih luas sebelum adanya ISIS.”
“ISIS berbeda dengan Al Qaeda terutama karena mereka ingin menjadi sebuah negara yang konvensional, menguasai wilayah, memiliki tank dan tentara, mengelola populasi, dan menjadikannya layaknya negara-negara di Timur Tengah,” katanya.
Menurutnya, setelah kehilangan kendali, mereka pasti telah mengatur kembali agar ambisi semula mereka kembali terjadi.”
Kilcullen mengatakan situasi saat ini sepertinya akan ditangani serupa dengan apa yang dihadapi Presiden Barack Obama hingga pertengahan 2014, ketika ISIS pertama kali memiliki kekuatan teritorial.
Dia menggambarkannya sebagai “kelompok gerilya tanpa bentuk” yang ada dan terus bermunculan dalam bentuk berbagai konflik di seluruh kawasan.
Ia menambahkan dengan kekalahan ISIS sebagai entitas teritorial, satu isu penting lainnya adalah muncul menjadi kelompok-kelompok lain, terutama kelompok Hayat Tahrir al-Sham, memiliki hubungan dengan Al Qaeda, yang keduanya terlibat pertikaian dalam menguasai provinsi Idlib di Suriah, yang juga menjadi lebih menonjol sebagai kelompok teroris atau jihad di wilayah tersebut.
Meskipun kubu pertahanan militan ISIS mungkin telah dihancurkan, perang masih berkecamuk di Suriah. Namun, target serangan dari negara-negara seperti Turki telah sedikit bergeser.
“Masalah lain yang lebih besar adalah konflik kita sudah menjadi perhatian penuh dunia, konflik yang sangat kompleks di Suriah sedang menarik Turki, atau sudah menarik Turki, Rusia, sejumlah kelompok Kurdi, rejim Suriah itu sendiri, negara-negara Teluk Arab, Saudi Arabia, bahkan Israel dalam beberapa minggu terakhir,” kata Kilcullen.
“Dan ini menjadi konflik yang sangat berantakan.”
“Tidak jelas bagi saya apakah pemerintahan Obama atau Trump sudah benar-benar berpikir setelah ISIS dikalahkan, untuk berpikir apa yang kita inginkan setelah apa yang disebut kekhalifahan hancur. Sekarang kita berhadapan dengan perang setelah perang melawan ISIS, tanpa rencana yang benar-benar jelas.”
“Atau mungkin saya katakan ada orang-orang di pemerintahan yang memiliki gagasan yang jelas, namun tidak jelas bahwa pemerintahan secara keseluruhan memiliki sudut pandang yang konsisten.”
Menurut Kilcullen, pendekatan pemerintahan Trump terhadap masalah ISIS memiliki kesinambungan “yang cukup tinggi” dengan pemerintahan Obama. Tapi, sejauh ini ia menilai belum terlalu menunjukkan perpaduan atau konsistensi di antara kedua pemerintahan tersebut.
Ia menambahkan ada beberapa pusat kekuatan yang bersaing dan mendorong agenda mereka sendiri, beberapa di antaranya tidak sesuai, katanya.
Sebagai contoh, Rex Tillerson, Menteri Dalam Negara, telah mendorong kebijakan terkait Korea dan Rusia dan isu-isu lainnya, namun seringkali tersendat karena unggahan Presiden Trump di Twitter.
Sementara itu, satu masalah lain terkait ISIS adalah kelompok Kurdi yang sekarang menjadi sasaran negara-negara sekitar. Kelompok Kurdi bisa dibilang paling efektif dalam menahan pergerakan kelompok IS ke kota-kota perbatasan.
Kilcullen mengatakan Amerika yang mendukung dan mempersenjatai banyak kelompok Kurdi, tidak mengabaikan Kurdi, seperti kebanyakan pendapat analis. Namun mereka tetap bekerja sama di Suriah utara, di sebuah kota bernama Manbij, dekat daerah Afrin di mana baru-baru ini diserang Turki.
Ia mengatakan pemungutan suara Kurdi untuk merdeka pada September lalu tidak hanya “menakutkan” pemerintah Irak dan sekutunya Iran, tapi membuat Turki sangat tersinggung dan kesal.
“Dan sekarang Turki mengambil langkah yang lebih keras untuk melawan kelompok Kurdi di Turki dan Kurdi di Suriah, tapi melawan mantan rekan mereka kelompok Kurdi Irak,” katanya.
“Jadi saya pikir kita melihat semacam pergeseran geopolitik di wilayah ini, di mana sekarang gaung ISIS telah hilang, dan orang-orang lebih didorong oleh geopolitik.”