MENAKAR (AKAR) RADIKALISME

Ber­kem­bang­nya isu ra­dika­lisme dalam be­berapa waktu ter­akhir menimbulkan kere­sahan di tengah masyarakat. Berbagai aliran yang mun­cul mengakibatkan keag­a­maan, apalagi di kalangan masyarakat awam, yang hanya menerima pema­ha­man Islam dari apa yang disampaikan mubaligh di masjid-masjid, terutama generasi muda. Tidak heran bila kelompok ini sangat intens menyasar generasi muda yang sedang mencari kebenaran akan diri dan keyakinan hati yang hakiki, karena akan lebih rentan dipengaruhi. Wajar kiranya muncul sebutan kelompok muslim garis keras dengan massa dominan dari golo­ngan pemuda.

Paham radikalisme sela­lu saja disandingkan dengan kelompok teroris. Ang­gapan ini memang tidak salah, juga tidak sepenuhnya benar, namun bila dirujuk secara epitimologi, radikal dapat dikatakan sebagai pemahaman yang menga­kar atau mendasar. Tidak adil rasanya bila pengertian radikal selalu diarahkan pada terorisme, walaupun dua hal ini memang me­miliki makna dan tindakan yang berdekatan.

Keyakinan yang men­dalam berarti fanatis ter­hadap yang dipercayai, dan kemudian berujung kepada taqlid buta (mengikuti orang lain tanpa mengerti dalil yang mendasari). Ke­mungkinan inilah yang dita­kutkan terjadi bila seorang telah memahami sesuatu secara radikal. Tindakan-tindakan di luar etika dan moral yang berlaku secara universal bukan lagi peng­halang untuk menasbihkan kelompok dan golongannya lah yang paling benar.

Di samping itu, tidak jelasnya tujuan yang ingin dicapai dari tindakan ke­lom­pok radikal membuat hujatan semakin keras. Dis­kriminasi atas golongan dengan mengedepankan isu SARA semakin jamak terja­di, bahkan meningkat dari tahun ke tahun. Penerapan hukuman yang berat pun tidak mampu memberikan efek jera atas pelaku tindak terorisme. Brainwash de­ngan menyadur ayat-ayat al qur’an dan hadits nabi de­ngan tanpa melandaskan pada tafsiran yang kuat berdasarkan ijtihad ula­ma’, seringkali menjadi dalih untuk menggaet anggota baru. Tidak heran, bila penyerangan rumah ibadah, penistaan agama, sampai pada kerusuhan antar ke­lom­pok agama, dan tak kalah hebohnya, aksi pem­blokiran terhadap 22 situs islam yang dianggap men­jadi pemicu konflik hori­zontal, selalu menjadi peng­hias di layar kaca.

Apalagi akhir-akhir ini, dengan semakin gencarnya penyebaran paham ISIS yang disinyalir menganut aliran takfiri menimbulkan kekha­watiran baru. Karena paham seperti ini, memandang segala bentuk paham di luar mereka adalah kafir dan sesat, serta diperbolehkan jalan keke­rasan untuk memeranginya, adalah halal darah mereka.

Sedikit mengulas tentang kelompok ISIS yang muncul sekitar tahun 1994 dan telah menjadi sorotan dunia dalam dua tahun terakhir. Dengan membawa panji penyatuan seluruh umat islam sedunia dalam satu kekhalifahan seba­gaimana pernah Rasulullah sampaikan. Namun, konteks kekhilafahan yang dibawa ISIS justru melenceng dari dasar-dasar islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Mufti besar Arab Saudi, Syeikh Abdul Aziz al Sheikh secara terang-terangan menyatakan paham ISIS ada­lah sesat dan sangat jauh dari nilai-nilai Islam yang sejati.

Di bawah kepemimpinan Abu Bakar Al Baghdadi ISIS, merajalela dan menjadi salah satu kelompok teroris yang paling dicari di dunia. Ditak­sir kekayaan kelompok tero­ris yang memiliki basis di Mosul, Iraq mencapai US$ 2 miliar. Keyakinan radikal yang mereka percayai menga­kibatkan tindakan-tindakan di luar kemanusiaan menjadi umum terjadi, semisal, pe­man­cungan, pembunuhan, penyiksaan sandera, dan ter­akhir pembakaran pilot Yor­dania yang dilakukan oleh kelompok tersebut. Pada ak­hir­nya, makna takbir yang se­lalu dikumandangkan setiap mereka melancarkan aksi, semakin sempit dan jauh dari islam sebagai aga­ma yang membawa per­damaian.

Harus diakui, pe­nga­ruh­nya pun sudah menye­bar ke mana-mana, dan tidak bisa dipandang anca­man sesaat. Di indonesia sendiri, be­redar video pem­baiatan dan ancaman lang­sung anggota ISIS asal Indo­nesia terha­dap TNI, khu­susnya pang­lima TNI Moel­doko. Ter-akhir, 16 orang turis asal Indonesia, me­misahkan diri dari ke­lom­pok tourdi Turki, diketahui mereka mencoba me­nyu­sup masuk ke daerah kon­flik ISIS dan Suriah.

Sehingga sudah semes­tinya kita dekonstruksi lagi pemahaman tentang radi­kalisme. Pendapat Filsuf Slavoj Zizek dapat dija­dikan rujukan dalam me­ngar­tikan radikalisme itu seperti apa. Menu­rut­nya, apa­bila seseorang telah ber­pi­kir radikal (Fun­da­men­tal), ia tidak akan mera­sa te­rancam dengan kehi­du­pan pihak atau kelom­pok lain­nya. Lanjutnya lagi, pa­ham ra­dikal (fun­damen­tal) di­an­daikan telah men­dapat­kan kebenaran sejati, se­hing­ga tak perlu khawatir de­ng­an pemahaman dan ke­yakinan kelompok lain­nya.

Radikalisme dan Kebhinekaan

Kelompok-kelompok radikal ini memiliki tujuan akhir untuk menegakkan nilai-nilai yang mereka a­nut di muka bumi. Pand­a­ngan mereka tentang sistem de­mokrasi, dan segala hal yang berhubungan dengan barat bukan suatu yang universal dan menyalahi hukum Tu­han. Kesempitan berpikir se­perti ini yang justru men­jerumuskan dan memicu gesekan serta per­pecahan. Bahkan sesama­nya pun ti­dak malu untuk saling meng­hujat.

Harusnya direfleksikan kembali dalih dan alasan di balik niat dan tujuan me­reka. Sejatinya per­d­e­batan me­ngenai dasar-dasar ne­gara seperti apa yang akan di­jalankan Indonesia, telah dimulai jauh sebelum In­donesia merdeka. Pada ta­hun 1940-an, Muhammad Natsir dan Soekarno terlibat perang tulisan yang terekam dalam Panji Islam. Kedua tokoh ini berbeda pan­da­ngan tentang dasar negara, Soekarno, berpandangan agama tidak harus dijadikan dasar dalam menjalankan pemerintahan, sedangkan Natsir, bersikukuh agar pe­merintahan dijalankan atas dasar agama (islam). Se­hingga muncul dua kubu yang saling berseberangan antara Nasionalis Agamais dan Nasionalis Sekuler.

Yang menarik per­de­batan ini hanya terbatas pada forum diskusi dan literasi, secara hubungan per­sau­daraan dan kekeluargaan dua tokoh ini baik-baik saja. Sikap toleransi seperti ini yang harus tetap dijaga. Ja­ngan sampai perdebatan yang terjadi di dalam suatu forum, justru merusak jali­nan silaturahmi yang telah dibangun.

Keutuhan negara dan bangsa Indonesia sekali lagi terancam dengan mun­cul­nya banyak kelompok radi­kal yang berlandaskan ideo­logi. Nasionalisme yang selama ini dibangun berada di ambang perpecahan, bila saja rakyat masih terin­ti­midasi dengan paham-pa­ham dan aliran yang menen­tang semangat Pancasila dan Demokrasi.

Langkah antisipatif de­ngan berbagai upaya pence­gahan harus dilakukan sedi­ni mungkin. Anak-anak mes­­ti dididik dengan nilai-nilai keagamaan dan ke­bangsaan. Generasi muda diberikan keleluasan untuk berkreativitas di bidang yang diminatinya. Ketiadaan ak­tivitas bermanfaat yang mes­ti dikerjakan membuat me­reka terjerumus dalam ke­giatan kegiatan yang justru merusak pikiran dan akal.

Dengan demikian, ke­bhinekaan yang menjadi ruh penyatu bangsa indonesia tetap terjaga. Setiap golo­ngan, agama, suku dan rasa dapat menjalankan aktivitas dengan aman dan nyaman. Negara menjamin keber­langsungan hidup dan kebe­basan mereka, sebagai pe­nge­je­wantahan terhadap ama­­nat konsitusi. Mari ce­gah setiap upaya radi­kali­sasi.**

NABHAN AIQANI
(Ketua Umum UKM Pengenalan Hukum dan Politik Universitas Andalas)

sumber : haluan

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *