Jakarta – Agama Islam sejatinya adalah agama damai (salam), welas asih dan cinta (rahmah). Namun dalam beberapa kurun waktu ini Islamdicitrakan identik dengan terorisme dan kekerasan. Bahkan citra negatif Islam terdengar lebih nyaring, sementara suara damai jarang disuarakan. Di tengah bisingnya kekerasan, suara rahmah Islam jarang diperdengarkan dan untuk mengantisipasi citra negatif tentang Islam, para tokoh muslim moderat pun mensuarakan Islam.
Para tokoh muslim ini mensuarakan citra Islam sebagai agama yang damai di acara Festival Islam Cinta 2015 yang digagas Gerakan Islam Cinta dalam rangka memperingati Hari Ulang Tahun Universitas Islam Negeri(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang digelar di Auditorium UIN Jakarta, Rabu (3/6/2015) dengan tema “Membendung Radikalisme Dengan Islam Cinta”.
Para tokoh ini diantaranya mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah), mantan Menko Kesra dan deklarator Islam Cinta , Alwi Shihab dan Irfan Idris,Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) dan beberapa tokoh lainnya.
Dalam pandangannya Alwi Shihab mengungkapkan bahwa dalam Islam sendiri cinta adalah ajaran otentik dimana agama Islam yang diharapkan untuk dapat tumbuh dan berkembang di Indonesia adalah ajaran yang ramah, bukan marah ataupun mengajarkan kekerasan.
“Inti dari ajaran Islam sendiri adalah cinta, banyak orang yang lupa mengenai hal tersebut. Cinta sendiri bukanlah barang baru, tapi memang otentik ajaran dalam Islam. Sedangkan muslim sejati adalah mereka yang mencintai Allah dan dicintai Allah,” ujar Alwi Shihab.
Menurut mantan menko Kesra tersebut, mahasiswa dan cendekiawan harus pandai-pandai membaca gerakan pemikiran Islam, bagaimana mereka lahir dan apa latar belakangnya. “Di sini kadang banyak kaum muslim yang terkecoh oleh nama besar seorang ulama yang pandangannya cocok pada masanya. Tapi padangan itu sudah tidak cocok lagi pada masa sekarang,” ujar Alwi.
Dirinya memberikan contoh seperti, Bung Karno yang pernah menyuruh bangsa Indonesia untuk mengganyang Malaysia. Tapi di jaman sekarang ini menurutnya instrusksi tersebut sudah tidak cocok lagi untuk dilakukan. “Di jaman sekarang instruksi Bung Karno itu sudah tidak relevan lagi,” ujarnya.
Dikatakan Alwi, di luar negeri sendiri banyak yang menanyakan darimana datangnya kelompok-kelompok radikal ini yang mengatasnamakan Islam. Dan ini tentunya menjadi tantangan bagi umat Islam. “Umat Islam harus mengubah citra Islam yang penuh kekerasan menjadi Islam yang toleran dan damai. Untuk itu kita ingin Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang inklusif, menghargai perbedaan, dan rahmatan lil alamin,” kata Alwi.
Sementara itu Mahfud MD dalam kesempatan tersebut mengatakan bahwa adanya Radikalisme yang mengatasnamakan agama ini berpangkal dari kemiskinan, ketidakadilan, dan korupsi. Beberapa masalah itu membangunkan kelompok-kelompok radikal untuk melancarkan gerakan perlawanan atas nama agama.
“Hal itu juga yang membuat beberapa warga dan pemuda di Indonesia ini mau mendaftar ke ISIS karena mereka tergiur dengan janji upah sebesar Rp 15 juta per bulan,” kata Mahfud.
Lebih lanjut Mahfud, rasa tidak adil dan kemiskinan membuat beberapa individu berkumpul dan membentuk kelompok yang cenderung radikal. “Kelompok ini membawa agama karena hanya itu yang mereka punya, kekuatan untuk melawan,” kata Mahfud.
Sementara itu Komaruddin Hidayat mengatakan bahwa sejarah Islam memang kasar, keras, dan tegas, tetapi sesungguhnya pangkal ajaran Islam adalah cinta kasih. Menurutnya, sifat radikal yang ada sekarang ini merupakan budaya bangsa Indonesia dan tergambar dalam sejarah bangsa. “Tetapi hebatnya, semua kerajaan atau kesultanan di Indonesia memberikan kekuasaannya untuk kesatuan NKRI,” ujarnya.
Sementara itu senada dengan Mahfud MD, Irfan Idris mengatakan bahwa adanya Radikalisme yang terjadi di negara Indonesia itu akibat adanya kemiskinan, ketidakadilan ataupun kekecewaan yang misinya merubah sebuah bangsa menjadi negara agama “Yang terjadi di negara kita ini, selama belum terwujud cita-cita mendirikan negara khilafah islamiah, maka radikalisme yang mengarah ke terorisme tidak pernah habis, karena kelompok mereka ini masih berilusi tentang negara Islam. Padahal Indonesia ini sudah diwujudkan menjadi negara indonesia yang Islami. Dan kelompok-kelompok itu akan membawa cassing yang berbeda-beda, ada NII, JI, JAT, JAD dan sebagainya, termasuk yang terakhir ISIS,” kata Irfan.
Dalam upaya memerangi radikalisme Irfan mengibaratkan bahwa radikalisme itu ibarat sebuah pohon, dimana mati satu tumbuh seribu, tidak hanya dengan hard approch saja tetapi juga melakukan pendekatan yang lebih soft.
“Pendekatan soft aaproch semua akan terlibat mulai dari masyarakat, mahasiswa, ulama, tokoh agama, artis dan sebagainya. Semua punya peran untuk menjaga keutuhan NKRI dengan meramu empat konsensus dasar berbangsa agar jangan ada ideologi lain yang mengalahkan ideologi empat konsensus,” katanya