Ada kabar baik pagi ini, tagar #KembalikanMediaIslam mulai sepi ditinggal pengunjung. Boleh jadi hal itu menunjukkan masyarakat sudah mulai mengerti bahwa ternyata situs-situs yang ditutup paksa tersebut bukan ‘beneran’ media Islam. Masyarakat pun mulai paham bahwa gerombolan radikal sedang bersembunyi di balik nama baik Islam dan sedang memainkan peran adu domba antara negara dan pemeluk Islam.
Agitasi murahan yang ditebar situs-situs radikal itu tentu tidak dapat dibenarkan. Karena tidak mungkin Islam, selaku agama yang mereka jadikan topeng, mengajarkan kerusuhan. Penutupan paksa harus dipahami sebagai upaya negara memberantas benih-benih perpecahan yang ditebar oleh sekelompok kecil orang yang memelintir ajaran dan pemahaman agama. Negara beserta rakyatnya tidak boleh kalah dari penjahat, termasuk penjahat cyber bertopeng agama.
Nah, ketika tagar #KembalikanMediaIslam – yang sebenarnya adalah akal-akal kelompok radikal saja untuk membohongi masyarakat bahwa pemerintah seolah menutup media Islam, bukan media radikal—mulai ditinggalkan orang, kelompok radikal mulai menyusun kembali delusi mereka dengan berlindung dibalik undang-undang pers.
Mungkin mereka mengira bahwa undang-undang pers dapat melindungi mereka untuk terus-terusan menebar kebencian dan permusuhan. Inilah yang disebut dengan mimpi di siang bolong! Jujur saja langkah mereka itu menggelikan, sebab jika mereka tetap memaksakan diri dengan berlindung dibalik undang-undang pers, justru akan jadi bumerang bagi mereka sendiri. Toh selama ini, mereka tak pernah mengindahkan kaedah jurnalistik yang baik.
Jika ada diantara anda yang pernah ‘kesasar’ ke situs-situs radikal, anda pasti tahu bahwa situs-situs tersebut aneh. Selain unsur konten yang tidak memenuhi kaedah jurnalistik sama sekali (unsur 5W+1H, Kroscek, cover both sides), situs-situs yang ditutup paksa itu juga tidak mencantumkan alamat lengkap redaksi. Mereka juga tidak mencantumkan penanggungjawab utama, sehingga mungkin saja redakturnya adalah memedi, bukan manusia.
Beberapa oknum yang memang menginginkan masyarakat resah dengan menebar tagar #kembalikanMediaIslam juga sempat menebar meme yang berisi gambar perbandingan menkominfo yang dulu (Tifatul Sembiring) -yang mereka anggap berprestasi karena menutup paksa situs porno– dengan menkominfo yang sekarang (Rudiantara), yang menurut mereka ngawur karena menutup paksa situs Islam. Ini juga lucu.
Seandainya saja mereka melek berita, mereka harusnya paham bahwa kebijakan menutup paksa situs-situs tersebut justru berdasarkan pada Peraturan Menteri Kominfo No. 19 tahun 2014 tentang Penanganan Situs Bermuatan Negatif, dimana posisi menteri kemenkominfo saat itu dijabat oleh Tifatul Sembiring. Masyarakat juga tidak boleh lupa bahwa menteri kemenkominfo dari PKS itu malah sudah menutup paksa 300 situs radikal. Jika tidak percaya silahkan tanya ke ‘mbah google’. trus, kenapa sekarang baru nutup 22 situs aja masyarakat sudah diajak rame ? ada yang salah ?