Bandung – Kehidupan individualisme mahasiswa dalam kampus bisa menjadi jalan masuk pemikiran radikali di kalangan mahasiswa. Pemikiran ini disampaikan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjajaran, Dr. Dadang Hidayat dalam presentasinya di Seminar “Radikalisme, Terorisme, dan Media, Bahaya di Balik Kata”, di auditorium Fakultas Komunikasi Unpad, Jatinangor, Bandung, Kamis (29/11).
Menurut Dadang, dalam kehidupan kampus, mahasiswa itu punya beragam pemikirannya. Dari yang radikal kiri hingga radikal kanan ada. Juga dari mereka yang memiliki pemikiran moderat hingga ekstrem ada.
“Mereka beragam pemikirannya, namun bagi mahasiswa yang punya sifat individualisme bisa menjadi mudah dipengaruhi,” katanya.
Dijelaskannya, jika mahasiswa aktif dalam banyak organisasi, kegiatan atau acara kampus, mereka terhindar dari individualisme dan menambah banyak teman serta terbuka pemikirannya.
Ia juga menekankan komunikasi sosial mahasiswa itu harus luas. Karena dengan begitu, si mahasiswa bisa berpikir rasional dengan cakrawala luas saat mengambil keputusan.
Baca juga : Pengamanan Natal dan Tahun Baru, Kapolri dan Panglima TNI Rapat Tertutup di Gedung Promoter
Lebih lanjut Dadang juga berharap agar mahasiswa yang sudah terpengaruhi radikalisme tidak dihentikan dengan cara ancaman. “Mereka yang radikal merasa paling benar. Ini harus didekati dengan komunikasi sosial yang baik. Tidak usah dimusuhi atau dijauhi karena bisa semakin radikal dan jauh. Pendekatan subtansial dan rasional penting dalam komunikasi dengan mereka,” terangnya.
Di kesempatan yang sama, tenaga ahli Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Syaiful Arif juga menyampaikan presentasinya. Ia mengatakan, mereka yang mudah didoktrin ajaran radikalisme adalah mereka yang baru mengenal agama.
“Karena itu mereka yang sudah mengenal agama mendalam atau yang sudah belajar agama dari pesantren akan sulit dipengaruhi ajaran radikalisme. Sebab mereka tahu cara beragama dari sumber sejatinya. Para santri sudah diajari cara beragama dengan belajar dari dasar,” tuturnya.
Syaiful yang juga akademisi itu mengatakan, cara mendoktrinasi dengan simbol-simbol agama akan menarik bagi yang baru mengenal agama. Tetapi yang sudah pernah belajar agama, tidak mudah dipengaruhi, malahan dikritisi.
Seperti ormas terlarang Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ada diklaim sebagai ormas dakwah. Padahal kata Hizbut itu artinya partai. Juga kalau dakwah sesuai Al Quran adalah membawa kebaikan yang substansial, bukan dakwah mengubah sistem politik.
Syaiful menekankan, literasi kebangsaan perlu digalakkan di kalangan generasi muda, sehingga mereka yang berniat mengganti NKRI dan Pancasila bisa dicegah. Literasi tidak hanya di dunia nyata, tetapi juga dunia maya.
“Pancasila itu isinya sesuai dengan ajaran Islam, dan selaras dengan Piagam Madinah zaman Nabi Muhammad. Dan dasar negara itu tepat untuk negara kita yang majemuk atau bhineka ini,” ucapnya.
Pemateri lainnya, Staf Ahli Menteri Kominfo, Gun Gun Siswandi, mengungkapkan, pengguna internet di Indonesia sekarang tercatat 143 juta orang, dengan 87% adalah pengguna media sosial.
“Penyebaran radikalisme bukan dari media ‘online mainstream’, tapi kebanyakan media sosial. Nah ini yang perlu diwaspadai,” ujarnya.
Kementerian Kominfo juga sudah melakukan pemblokiran media daring yang tidak jelas, yang menyuarakan radikalisme, ujaran kebencian, berita bohong (hoak) dan adu domba.
“Tapi nyatanya, diblokir satu, yang lainnya tumbuh lagi. Karena itu upaya pemberdayaan sumberdaya manusia dengan melek media atau literasi media menjadi penting. Karena diharapkan SDM kita mampu memilah dan memilih informasi, atau menyaring informasi,” katanya.
Dijelaskannya, Kementerian Kominfo juga menekankan strategi peningkatan literasi SDM Indonesia dalam mengarungi informasi, yaitu melakukan edukasi literasi media, sehingga mampu melakukan identifikasi, verifikasi, memilah dan memilih atas informasi yang datang.
Selain itu, Kominfo juga memfasilitasi komunitas-komunitas dalam menyampaikan literasi lanjutan, dan terakhir melakukan penegakan hukum, khususnya penegakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
Seminar yang dihadiri seratusan mahasiswa itu berlangsung meriah. Keaktifan mahasiswa untuk bertanya kepada pemateri juga beragam. Bahkan di akhir seminar diisi pembacaan puisi karya Gus Mus (Mustofa Bisri) oleh pemateri Syaiful Arif dengan diiringi musik.