Jakarta: Peraturan Pengganti Undang-undang (Perpu) Antiterorisme Nomor 1 dan 2 Tahun 2002 kembali mendapat sorotan. Kali ini, keberatan datang dari Koalisi organisasi nonpemerintah (Ornop). Mereka melihat tak ada jaminan aksi teror bakal lenyap dari Bumi Pertiwi selama belum ada perhatian nasional dalam menanggulangi terorisme. Itu terlihat dari kontrol yang longgar terhadap pabrik-pabrik pembuat bahan peledak. Selain itu, lembaga yang berfungsi menangkal penggelapan bahan peledak dan senjata masih rentan suap plus tindak korupsi.
Pendapat ini bergulir dalam rapat dengar pendapat antara ornop seperti Komisi untuk Orang Hilang dan Tindakan Kekerasan (Kontras) dan Centre for Electoral Reform (Cetro) dan Komisi I DPR di Gedung MPR/DPR Senayan, Jakarta, Selasa (29/10). Koalisi Ornop menggarisbawahi pasal-pasal yang dianggap tidak mengindahkan dan melindungi hak asasi manusia. Contohnya, pemberlakuan asas retroaktif khusus untuk kasus bom Bali dan penggunaan materi penyelidikan intelijen sebagai bukti pengadilan. Menanggapi penolakan utusan LSM sepeti Munir dari Kontras dan Todung Mulya Lubis mewakili Cetro, Komisi I DPR menyatakan akan membawa masukan Koalisi Ornop ke rapat gabungan Komisi I dan II DPR. Sidang tersebut akan digelar Kamis mendatang.
Lebih jauh, praktisi hukum Bambang Widjojanto menilai penerapan Perpu Antiterorisme sarat kepentingan kekuasaan dan amat terburu-buru. Sebab, urgensi perpu tersebut tidak jelas. Kelemahan yang paling mendasar adalah pada sistem penyidikan yang memberi perluasaan kewenangan kepada lembaga penyidikan yang tak dibarengi mekanisme kontrol terhadap kekuasaan tersebut. Akibatnya, akan terjadi pelanggaran HAM dan tindakan diskrimatif. Pandangan ini disampaikan mantan Ketua Yayasan Lembaga Hukum Indonesia itu selesai menjadi pembicara dalam diskusi publik Perpu Antiterorisme di Universitas Airlangga, Surabaya, Jatim, kemarin.
Bambang merasa wajib mengkritisi dan terus-menerus mempersoalkan kepentingan perpu tersebut. Selain itu, kata dia, perlu dikontrol apakah Perpu Antiterorisme dipakai sesuai fungsi dan kepentingannya. Dia juga pernah mengatakan Penerbitan Perpu Antiterorisme tak menjamin persoalan terorisme akan beres. Pasalnya, lagi-lagi tanpa kontrol yang memadai, pemerintah justru bisa dengan mudah menuduh seseorang teroris [baca: Bambang Widjojanto: Perpu Antiteroris Terlalu Mengada-ada ].
Pemerintah menerbitkan dua Perpu Antiterorisme pada 19 Oktober silam. Perpu pertama berlaku umum, sedangkan Perpu kedua khusus untuk mengusut pengeboman di Legian, Kuta, Bali, yang menewaskan 184 pengunjung Sari Club dan Paddy`s Cafe yang kebanyakan adalah warga negara asing. Artinya, Perpu 2/2002 berlaku surut. Pada saat itu, Menteri Kehakiman dan HAM Yusril Ihza Mahendra meyakinkan bahwa Perpu itu bersifat sambil menunggu pengesahan Rancangan UU Antiterorisme [baca: Pemerintah Mengesahkan Dua Perpu Antiterorisme].(TNA/Tim Liputan 6 SCTV)