Keberadaan ISIS karena Geografis dan Kultur Masyarakat Indonesia yang Radikal dan Keras

JAKARTA – Kemunculan Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Indonesia tidak lepas dari karakter geografis dan kultural masyarakat kita yang memang radikal dan keras.

“Saya menilai ada kaitannya karakter geografis dan kultural masyarakat kita yang memang radikal dan kekerasan. Australia dulu oleh orang Inggris dijadikan tempat untuk membuang warga kelas kambing, tapi sekarang australia bisa menjadi negara maju. Artinya ada suatu strategi kebudayaan yang berubah, tapi negara kita tradisi kekerasanmasih justru menonjol sehingga itu sangat mudah dimasuki paham radikalisme,” kata mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, Komarudin Hidayat dalam pernyataannya, Sabtu (6/6/2015).

Komarudin juga mencontohkan Islam di Timur Tengah dengan di Indonesia.

Di Timur Tengah, negara Islam terpecah menjadi 22 negara tergantung dari kesultanan dan kekhalifahnya.

“Tapi di Indonesia tidak. Di sini, kesultanan dari Sabang sampai Merauke justru bersatu untuk bergabung menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seharusnya kita lebih kuat dalam menangkal setiap paham radikalisme, apalagi yang mengatasnamakan Islam,” ucap Komarudin.

Intinya, lanjut Komarudin, persoalannya bukan cinta Islam, tapi lahan yang ada di Indonesia harus digemburkan untuk menyuburkan dan memperkuat Islam itu sendiri.

“Itu bisa berjalan bila ada kepastian hukum, konstitusi, perdamaian,”katanya.

Sementara itu mantan Menteri Dalam Negeri Alwi Shihab mengatakan semua masyarakat di Indonesia tidak boleh tinggal diam untuk menangkal gerakan ISIS. Sebab, kehadirannya dinilai menciderai Islam.

“Sepuluh tahun lalu kita tidak pernah membayangkan lahirnya kelompok radikalisme, terutama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Mereka telah mencederai Islam sehingga kita tidak boleh tinggal diam untuk menangkal gerakan mereka. Mereka ancaman nyata dan sudah menyebar ke berbagai negara di Timur Tengah,” ujar Alwi.

Alwi mengaku di luar negeri banyak yang menanyakan darimana datangnya kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam.

Kondisi itulah Islam Indonesia dianggap radikalisme, padahal Islam Indonesia adalah Islam yang cinta dan damai.
“Umat Islam harus mengubah citra Islam yang penuh kekerasan menjadi Islam yang toleran dan damai. Untuk itu kita ingin Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang inklusif, menghargai perbedaan, dan rahmatan lil alamin,” kata Alwi.

sumber : tribunnews.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *