Kasus Hambali, Dalam Perspektif Hukum Internasional

Jakarta – Keberadaan Hambali alias Ecep Nurjaman masih menjadi polemik, pasca tertangkap sejak 16 tahun lalu dan ditahan dipenjara Guantanamo, Amerika Serikat (AS). Meskipun telah menjalani penahanan atas dugaan tindak pidana terorisme namun hingga kini oleh pihak (AS) Hambali tidak pernah di adili.

Prof. Hikmahanto Juwana mengatakan, Amerika Serikat (AS) dalam menangani Hambali, bukan tanpa kritikan, banyak lembaga yang mengatasnamakan HAM mengatakan bahwa Hambali harus segera diadili untuk mendapatkan status hukum yang jelas, demikianpun dengan di Indonesia, beberapa wacana sempat muncul untuk mengadili Hambali di Indonesia.

“Persoalan Hambali memang pelik karena tentu Amerika sendiri membutuhkan kepercayaan dari masyarakatnya dalam rangka memerangi terorisme, terlebih Hambali telah dimasukkan dalam list teroris, namun demikian hingga saat ini amerika serikat masih belum menuntaskan persoalan Hambali karena hal tersebut juga menyangkut isu-isu politik luar negeri” ujar Prof. Hikmahanto Juwana, SH., LL.M., Ph.D kepada peserta Rapat Koordinasi Antar Aparat Penegak Hukum Dalam Penanganan Perkara Tindak Pidana Terorisme “FGD Pembahasan Landasan Hukum Internasional Perkara Tindak Pidana Terorisme”. Yang digelar oleh Direktorat Penegakan Hukum BNPT. Hari ini, Senin (11/04/2019).

Guru Besar Universitas Indonesia (UI) tersebut menjelaskan bahwa sangat memungkinkan Hambali untuk diadili di Indonesia, namun apakah Amerika Serikat (AS) mau mengektradisinya untuk kemudian diadili di Indonesia, ini masih menjadi pertanyaan. Selain itu tentu tidak mudah untuk mengadili Hambali karena menyangkut kesiapan UU dan kesiapan alat bukti untuk menjeratnya.

Baca juga : Tanggulangi Terorisme Dari Hulu Hingga Hilir, Dirgakkum BNPT Diskusikan Langkah Hukum Secara Komprehensif

“Jika Hambali diadili di Indonesia, maka tidak akan dapat diproses berdasarkan UU pemberantasan tindak pidana terorisme karena MK telah memutuskan bahwa UU terorisme tidak dapat diberlakukan secara retroaktif (Putusan MK No 150/PUU-VI/2009)”. Ujar Guru Besar Hukum Internasional UI tersebut kepada peserta FGD.

Lebih lanjut, Hikmahanto menyatakan bahwa meskipun Hambali yang bernama asli Encep Nurjaman merupakan warga Indonesia, namun ketika ditangkap dia menggunakan paspor Turki, artinya jika kemudian akan diadili di Indonesia, hal ini akan menjadi sebuah polemik dan tentu akan banyak kesulitan bagi penegak hukum. Oleh karena itu Hikmahanto menyarankan agar perlu kajian yang lebih mendalam terkait kasus Hambali, meskipun mungkin informasi intelejen mempunyai bukti bahwa Hambali pernah bertemu atau berkomunikasi dengan tokoh-tokoh teroris seperti Amrozi cs.

Terkait persoalan Uighur, Hikmahanto menyatakan bahwa memang Cina sendiri memberlakukan hukum terorisme jika terdapat warga yang melawan pemerintahanya, oleh karena itulah terkait juga keberadaan warga Uighur yang terlibat jaringan tetorisme seperti Majelis Indonesia Timur (MIT) pemerintah harus kroscek secara benar dimana warga Uighur yang terlibat dalam jaringan MIT mendapatkan paspor sehingga kemudian dapat dilacak alur kedatangan mereka dan aparat penegak hukum dapat menjalankan tupoksinya secara baik terkait persoalan Uighur.