KOMPAS.com — Jaksa Penuntut Umum Rahmat Sori bercerita, dirinya pernah berbicara dengan terdakwa perkara terorisme, Mawan Kurniawan alias Mawan alias Clicker. “Saya bilang sama dia (Mawan), ‘Kamu sebenarnya bisa punya 10 Alphard di rumah’,” kata Rahmat.
Mawan bisa mempunyai 10 kendaraan Alphard jika ia mampu menggunakan kemampuan dan penguasaan teknologi yang dimilikinya secara benar, misalnya menjadi konsultan informasi dan teknologi di perusahaan besar untuk melindungi atau membuat sistem keamanan database pada perusahaan tersebut.
Akan tetapi, dalam sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Kamis (13/6/2013), Rahmat menuntut terdakwa Mawan dengan hukuman penjara 10 tahun dan denda Rp 300 juta subsider 6 bulan penjara.
Mengapa? Sesuai tuntutan, Mawan dinilai membantu Rizki Gunawan alias Rony Setiawan alias Luqman Gun alias Gesek alias Kiki, terdakwa lain, meretas (hacking) situs investasi, yaitu speedline.com, untuk tujuan terkait dengan terorisme.
Membobol situs memang bukan pekerjaan yang mudah bagi kebanyakan orang. Namun, bagi orang sekelas Mawan, pekerjaan itu tidak terlalu sulit dilakukan. Sebagai karyawan swasta dan programmer serta lulusan perguruan tinggi informatika, Mawan dapat membuat program-program untuk membobol sebuah situs, seperti mengubah tampilan (deface). Mawan didakwa mengubah tampilan beberapa situs, antara lain situs Pemerintah Provinsi Kalimantan Timur dan Panin Sekuritas.
Sejak November 2010, menurut jaksa penuntut umum, terdakwa Mawan kemudian juga membantu membuat program stealer bagi terdakwa Rizki Gunawan alias Luqman Gun untuk membobol situs investasi.
Selain itu, Mawan juga membuat program checker. Fungsi program itu, antara lain, mengecek validitas login dari e-mail, Paypal, dan Facebook serta mengetahui isi data (content) dari e-mail, Paypal, dan Facebook tersebut.
Dengan program-program yang dibuat terdakwa Rizki dan teknik-teknik lain, Rizki alias Luqman dapat memanfaatkan program-program dari Mawan untuk membobol situs investasi. Dengan menggunakan program yang diberikan oleh terdakwa, Luqman mampu mengumpulkan uang sekitar Rp 4 miliar.
Sebagian besar uang itu digunakan untuk pelatihan militer terkait di Poso. Dari hasil hacking itu, terdakwa Mawan juga mendapatkan uang sekitar Rp 300 juta dari Rizki alias Luqman.
Atas perbuatan itu, Rahmat pun menilai terdakwa Mawan melanggar Pasal 15 juncto Pasal 11 dan Pasal 7 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Selain itu, Mawan juga dijerat dengan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Dari kasus itu, terlihat kemampuan teknologi dan kemampuan investasi berbasis dunia digital sudah dimiliki dan dikuasai tersangka atau pelaku kasus terorisme di Indonesia.
Direktur Badan Nasional Penanggulangan Terorisme P Golose pernah mengungkapkan, penggunaan internet untuk tujuan terorisme, khususnya pencarian dana melalui hacking situs investasi, merupakan fenomena baru dalam jaringan terorisme di Indonesia.
Polisi antiteror mengungkap modus yang diduga dilakukan jaringan terorisme untuk mencari dana melalui penetrasi dalam perdagangan mata uang asing di internet (foreign exchange trading) (Kompas, 23/6/2012).
Jaringan terorisme melalui kemampuan teknologi dan internet juga mampu merekrut orang-orang berpendidikan tinggi melalui berbagai propaganda. Bahkan, pelaku-pelaku teror dapat menggunakan kemajuan teknologi, seperti e-commerce atau e-banking, untuk menggerakkan jaringan terorisme.
Dalam persidangan, terdakwa perkara terorisme Barkah Nawa Saputra juga mengungkapkan, dirinya mempelajari bahan-bahan peledak dan membuat bom melalui majalah Inspire yang disebutkannya sebagai majalah dari jaringan Al Qaeda yang tersaji di internet.
Terdakwa kasus terorisme, Wendy Febriangga, juga mengatakan proses radikalisasi dalam dirinya muncul setelah melihat foto-foto yang diklaim sebagai korban konflik di dunia maya. Ia menilai, pengawasan internet, yang memuat artikel, gambar cara membuat bom, bahkan tayangan video pembuatan bom, sangat lemah. Di satu sisi, pemerintah gencar menangkap tersangka teroris.
Wendy juga mempertanyakan, mengapa pemerintah tidak menertibkan atau melarang penyebaran cara pembuatan bom di internet. “Cukup dua jam, Bapak bisa jadi ahli bom,” kata Wendy kepada majelis hakim.
Kini semua serba terbuka difasilitasi kemajuan teknologi komunikasi. Tanpa “filter”, pengawasan, kontrol, atau bimbingan dari orangtua, keluarga, rekan, masyarakat, termasuk kementerian terkait pemerintah, kemajuan teknologi dan internet dapat menyebarkan paham terorisme, dapat memperkuat terorisme, dan mengancam kemajuan itu sendiri. (Ferry Santoso)
sumber: Kompas online