Purbalingga – Islam di Indonesia mengadopsi akar budaya lokal dan tidak meninggalkannya. Karenanya, Islam yang ada di Indonesia merupakan Islam Indonesia atau Islam Nusantara. Yang membedakan Islam Nusantara dengan Islam di luar Indonesia, yakni semangat spirit dalam dakwahnya. Islam Indonesia itu tidak menghilangkan mematikan budaya.
“Islam Nusantara itu memiliki sifat tawazun (seimbang), adil dan tasamuh (toleran),” tutur KH Nuril Arifin Husein disela-sela Pengajian Kebangsaan, di kediaman dr Mulyadi Desa Kalikajar Kecamatan Kaligondang, Purbalingga (Jateng), Selasa (1/6/2015). Mulyadi merupakan anggota DPRD Purbalingga dan beragama Katolik.
Karenanya, dalam Pengajian Kebangsaan yang juga dihadiri oleh sejumlah pemuka agama Katolik di Purbalingga itu, Gus Nuril, sebutan populer KH Nuril Arifin Husein, mengajak semua elemen dan pemuka agama Kristen, Katolik, Hindu, Budah dan lainnya untuk menjadi agama ala Indonesia. Dengan demikian tidak meninggalkan format budaya dan tidak mencabut semangat kebersamaan.
Gus Nuril, menyebutkan, Islam di Indonesia didatangkan oleh Sultan Ahmad Sani dari berbagai mazhab. Meliputi suni, syi’i dan lainnya. Juga dari berbagai kultur dari seluruh dunia. Seperti dari China, Pakistan, India dan lainnya, bukan hanya dari Arab.
Selain itu perlu pula dibangunkan kembali kesadaran bahwa Indonesia bukan cuma dihuni umat Islam. Dan Islam di Indonesia bukan hanya berasa satu dua mazhab. Dari berbagai mazhab itu dulu pernah ada kesepakatan bahwa Islam yang disebarkan itu islam ala Indonesia, islam ala nusantara.
Islam Nusantara yang adil, tawasun dan tasamuh itulah, menurut Gus Nuril, yang mendorong sifat terbuka dan komunikatif terhadap masyarakat yang berbeda agama. Almarhun KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bisa berkawan dengan Romo Mangun, pemuka agama Katolik.
“Saya bisa ceramah di gereja, vihara dan lainnya untuk saling mengenalkan. Tidak mencari titik bedanya. Kalau kita mencari bedanya, semua orang pasti berbeda,” ujarnya. (Py)
sumber : seruu.com