Jakarta – Islam sesungguhnya adalah agama yang bernafaskan cinta dan damai. Radikalisme selama ini menjadikan agama Islam sebagai kambing hitam untuk banyak gerakan radikalisme dan terorisme.
“Inti dari ajaran Islam sendiri adalah cinta dan identik dengan perdamaian, banyak orang yang lupa soal itu. Cinta sendiri bukanlah barang baru, tapi memang otentik ajaran dalam Islam. Sedangkan muslim sejati adalah mereka yang mencintai Allah dan dicintai Allah,” ujar Alwi Shihab, Jumat ( 5/12/2015).
Menurutnya, seluruh bangsa Indonesia, patut khawatir dengan adanya virus kekerasan dan radikalisme yang cukup merajalela ini. “Sepuluh tahun lalu kita tidak pernah membayangkan lahirnya kelompok radikalisme, terutama Islamic State of Iraq and Syria (ISIS). Mereka telah mencederai Islam sehingga kita tidak boleh tinggal diam untuk
menangkal gerakan mereka. Mereka ancaman nyata dan sudah menyebar ke berbagai negara di Timur Tengah,” imbuh mantan Menteri Dalam Negeri di era Presiden SBY pertama ini.
Alwi mengaku di luar negeri banyak yang menanyakan darimana datangnya kelompok-kelompok radikal yang mengatasnamakan Islam. Kondisi itulah Islam Indonesia dianggap radikalisme, padahal Islam Indonesia adalah Islam yang cinta dan damai.
“Umat Islam harus mengubah citra Islam yang penuh kekerasan menjadi Islam yang toleran dan damai. Untuk itu kita ingin Islam yang berkembang di Indonesia adalah Islam yang inklusif, menghargai perbedaan, dan rahmatan lil alamin,” tukas Alwi.
Sementara itu, mantan Rektor UIN Prof Dr Komarudin Hidayat menilai, penyebaran paham radikalisme yang mengatasnamakan Islam di Indonesia sudah bukan hal baru, karena tidak lepas dari kaitan geografis dan kultural Indonesia.
“Saya menilai ada kaitannya karakter geografis dan kultural masyarakat kita yang memang radikal dan kekerasan. Australia dulu oleh orang Inggris dijadikan tempat untuk membuang warga kelas kambing, tapi sekarang australia bisa menjadi negara maju. Artinya ada suatu strategi kebudayaan yang berubah, tapi negara kita tradisi kekerasan masih justru menonjol sehingga itu sangat mudah dimasuki paham radikalisme,” papar Komarudin.
Komarudin juga mencontohkan Islam di Timur Tengah dengan di Indonesia. Di Timur Tengah, negara Islam terpecah menjadi 22 negara tergantung dari kesultanan dan kekhalifahnya. “Tapi di Indonesia tidak. Di sini, kesultanan dari Sabang sampai Merauke justru bersatu untuk bergabung menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Seharusnya kita lebih kuat dalam menangkal setiap paham radikalisme, apalagi yang mengatasnamakan Islam,” ucap Komarudin.
Intinya, lanjut Komarudin, persoalannya bukan Islam cinta, tetapi lahan yang ada di Indonesia harus digemburkan untuk menyuburkan dan memperkuat Islam itu sendiri. “Itu bisa berjalan bila ada kepastian hukum, konstitusi, perdamaian,” pungkas Komarudin.