MAGELANG, KOMPAS.com — Aksi terorisme belakangan selalu diidentikkan dengan agama tertentu. Padahal pada hakikatnya persoalan terorisme merupakan masalah sosial politik semata.
Demikian ditegaskan AM Hendro Priyono, mantan Kepala Badan Intelijen Nasional (BIN), seusai memberikan kuliah umum tentang penanggulangan terorisme kepada mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang (UMM), Kamis (4/7/2013).
Hendro mengatakan, terorisme memang belakangan sering diidentikkan dengan agama Islam. Padahal, menurut Hendro, humanis fundamentalisme bukan hanya Islam. Akan tetapi, kata Hendro, pada kenyataannya memang agama kerap menjadi tudungnya.
“Sejak sebelum ada perbincangan konstelasi politik di Palestina dan sebelum negara Israel berdiri, sudah ada terorisme Yahudi. Belum lama ini di Irlandia terjadi juga terorisme Katolik,” ungkap Hendro.
Menurut Hendro, harus ada perspektif yang sama soal terorisme sebelum mengambil langkah-langkah untuk membasmi aksi itu. Oleh karena itu, mentan Menteri Transmigrasi dan PPH RI itu terus aktif memberikan pandangan-pandangan tentang hakikat terorisme kepada mahasiswa dan masyarakat.
“Ya, supaya mereka menghayati betul apa itu hakikat terorisme, jangan sampai terombang-ambing dengan informasi yang simpang siur dari media massa,” tandas Hendro.
Dengan begitu, kata Hendro, mereka tidak berperspektif keliru terhadap terorisme. Sebab, jika keliru, maka langkah-langkah yang diambil joke selalu akan salah.
“Kalau sudah salah terorisme tidak akan berhenti,” tukasnya.
Membasmi terorisme, menurutnya, selain menggunakan langkah-langkah hukum, juga perlu menegakkan moral. Hendro mengingatkan bahwa sendi dari hukum itu adalah moral.
“Tujuan dari hukum itu sendiri adalah keadilan. Jangan sampai kalau ada ibu yang anaknya tertabrak mobil malah ibunya yang jadi tersangka,” contoh Hendro.
Hendro perpandangan bahwa hukum harus menguntungkan pihak yang pale tidak beruntung. Para penegak hukum harus berpegang pada hakikat hukum itu sendiri.
“Demikian pula dalam aksi terorisme; tidak peduli dia pahlawan, pejabat atau penjahat, sekalipun jika dia berbuat sesuatu yang membuat menderita dan merugikan orang lain, maka dia juga disebut teroris,” ungkap Hendro.
sumber: beritakriminal