Geliat terorisme ternyata belum habis. Ini bisa dilihat dari penyergapan teroris oleh Densus 88 yang menyebabkan tewasnya Abu Roban di Kendal, Jawa Tengah. Abu Roban oleh Badan Penanggulangan Terorisme (BNPT) disebut merupakan Amir Majelis Mujahidin Indonesia Barat hal ini disebutkan oleh Kepala BNPT Ansyaad Mbai dalam diskusi di Hotel Sahid, Jakarta, Sabtu (11/05).
Dalam dua tahun belakangan ini terdapat beberapa aksi terorisme dan penyergapan teroris antara lain adalah penyerangan dua pos pengamanan Polisi di Solo pada 17 Agustus 2012; terjadinya ledakan bom di Beji, Depok pada September 2012; penyergapan lima terduga teroris jaringan Poso di Bima, NTB pada Januari 2013; Penyergapan kelompok teroris Poso yang tertangkap di Makassar pada Januari 2013; Kemudian yang terakhir adalah Perampokan yang terjadi di cabang-cabang Bank BRI antara lain Batang, Grobogan dan Lampung (Jurnas, 2013).
Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa terrnyata terorisme khususnya di Indonesia ini belumlah habis, lalu bagaimana sebenarnya sejarah dari terorisme. Fakta-fakta tersebut sebenarnya penulis gunakan untuk menjadi trigger (pemantik) bagi kita untuk melihat fenomena terorisme itu sendiri dan dalam tulisan ini penulis akan mencoba untuk melihat sejarah dari terorisme di Asia Tenggara.
Negara-negara di kawasan Asia Tenggara sebagian besar dalam sejarahnya dapat dikatakan merupakan negara-negara dengan banyak aksi terorisme di teritorial wilayahnya. Negara-negara seperti Indonesia, Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura, merupakan negara-negara yang memiliki sejarah terorisme di masa lalu. Misalkan, Indonesia yang dalam sejarahnya pernah mengalami pemberontakan dari Darul Islam/Negara Islam Indonesia (DI/NII) yang dipimpin oleh S.M. Kartosuwiryo di Jawa Barat tahun 1949 (Greenwood, 2007, p. 42).
Hal yang sama juga terjadi pada negara-negara seperti Filipina, Thailand, Malaysia dan Singapura. Di Filipina sendiri terdapat beberapa organisasi-organisasi yang secara historis melakukan pemberontakan terhadap pemerintahnya diantaranya adalah Abu Sayyaf Group (ASG), Gang Pentagon, New People’s Army (NPA) serta Moro Islamic Liberation Front (MILF) (ICG, 2004, p. 1). Thailand juga memiliki sejarah yang panjang ketika membahas tentang terorisme.
Organisasi-organisasi teroris yang ada di Thailand adalah War Ka Raeh (WKR) dan Guragan Mujahadin Islam Pattani yang memiliki hubungan dengan Jama’ah Islamiyah. Organisasi lainnya yang cukup besar adalah Pattani United Liberation Organization (PULO) yang memiliki hubungan dengan Abu Sayyaf Group di Filipina (Greenwood, 2007, pp. 90-91)
Malaysia dan Singapura juga dalam sejarahnya banyak menghadapi gerakan teroris didalam negerinya masing-masing. Malaysia misalnya negara ini menghadapi ancaman teroris didalam negaranya dari Kamputan Mujahadin Malaysia (KMM) begitu juga dengan Singapura, namun hal yang unik terjadi di Singapura negara ini relatif tidak memiliki organisasi teroris yang muncul di Teritorialnya. Namun, Teritorial dari Singapura sering menjadi tempat terjadinya aksi terorisme. Serangan terhadap Kedutaan Amerika Serikat, Israel, Inggris serta kantor Caltex Oil Company menjadi bukti juga bahwa teroris berkembang di negara ini. Aksi teroris di negara ini banyak dilakukan oleh anggota dari Jama’ah Islamiyah yang dipicu oleh kedekatan hubungan Singapura dengan Amerika Serikat (Greenwood, 2007, pp. 97-100).
Kawasan Asia Tenggara pasca peristiwa 9/11 menjadi kawasan yang sangat diperhatikan oleh Amerika Serikat. Bahkan timbul sebutan kawasan ini menjadi Second Front bagi Amerika Serikat dalam memerangi terorisme. Perhatian Amerika Serikat pada Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari timbulnya gerakan-gerakan radikal Islam di kawasan ini. khususnya Jamaah Islamiyah yang memiliki hubungan dengan Al-Qaeda.
Jaringan ini dianggap mengancam stabilitas politik yang ada di kawasan tersebut dan memiliki tujuan untuk merubah sistem pemerintahan yang ada dengan membentuk negara Islam yang meliputi Indonesia, Malaysia, Singapura, Filipina Selatan dan Thailand Selatan (CRS Report for Congress, 2005).
Timbulnya aksi terorisme di Asia Tenggara ini menimbulkan banyak pendapat tentang penyebab dari aksi terorisme dikawasan ini. Pendapat yang dominan adalah penyebab dari aksi terorisme tersebut disebabkan oleh adanya ideologi globalisasi jihad yang disebarkan oleh Osama bin laden melalui organisasinya Al-Qaeda. yang mengemuka adalah pandangan dari Farhad Khosrokhavar dalam bukunya Inside Jihadism: Understanding Jihadi Movements World Wide. Dalam bukunya tersebut Khosrokhavar menggunakan varian jihadisme untuk ideologi yang berakar pada doktrin jihad dan merupakan tipe ideal bagi kelompok dalam Islam yang mengutamakan kekerasan untuk menjelaskan timbulnya aksi terorisme dalam skala global termasuk di Asia Tenggara (Khosrokhavar, 2009).
Pendapat lainnya yang menyatakan aspek ideologi jihad sebagai faktor utama terjadinya aksi terorisme adalah tulisan dari Shaykh Muhammad Hisham Kabbani yaitu The Globalization of Jihad: From Islamist Resistence to War Against the West yang menjabarkan pasca perang dingin Amerika Serikat menghadapi tantangan bukan lagi dari negara namun dari kelompok-kelompok yang sangat anti terhadap Amerika Serikat yang kebanyakan mereka adalah kelompok radikal dengan latar belakang agama dalam hal ini Islam.
Di sinilah Al-Qaeda berperan sebagai penyokong utama dari gerakan-gerakan tersebut dengan menyediakan dana dan support yang mereka perlukan. Al-Qaeda juga berperan dalam menyebarkan ideologi globalisasi Jihad terhadap organisasi-organisasi radikal itu (Kabbani, 2006, p.
sumber: harianbhirawa