Jakarta – Di era sekarang atau now yang sudah serba digital, masyarakat juga dituntut zaman untuk lebih cerdas bermedia sosial. Sebaliknya, jika dalam bermedia sosial tidak cerdas maka masyarakat- lah yang akan jauh ditinggalkan zaman.
Pemahaman ini disampaikan pengamat politik dan media sosial era milenial, Amsori, terkait tren gencarnya berita bohong atau hoaks yang terkirim secara berantai di masyarakat sekarang ini.
“Sekarang ini banyak masyarakat yang mudah termakan berita hoaks. Tanpa mengecek lebih dulu referensi sumber beritanya sudah langsung share ke yang lain melalui media sosial. Ini yang berbahaya jika terus didiamkan,” kata Amsori kepada wartawan di Jakarta, Selasa (29/1).
Menurutnya, tren seperti ini berpotensi besar memecah persatuan bangsa jika tak segera diantisipasi. Terlebih sebentar lagi akan ada hajat besar pesta demokrasi yang berlangsung di negeri ini.
Baca juga : Satgas Tinombala Tunggu Instruksi Kapolda Sulteng untuk Serbu Ali Kalora Cs
“Yang sekarang kita banyak lihat, termasuk di komentar pembaca berita yang ditayangkan media digital mainstream, masyarakat dengan mudahnya saling hujat, terutama jika menyangkut kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden,” jelas Amsori.
“Penekanan pembahasan lebih ke soal SARA dalam ranah politik identitas. Bukannya membahas tentang kritik program. Seperti ini tak bisa terus dibiarkan karena akan merusak kebhinekaan bangsa.”
“Dan ujung-ujungnya nanti pasti dilarikan ke politik identitas. Selalu begitu polanya,” sambungnya lagi.
Dikatakan lagi, tren seperti ini disadari atau pun tidak disadari sudah memunculkan keresahan di masyarakat. Bahkan ketika ada peristiwa teror pun bisa langsung dianggap sebagai pengalihan isu. Padahal kejadian aksi teror tersebut murni tindak pidana terorisme. Bukan dari sebuah rekayasa politik pengalihan isu.
“Masyarakat mudah termakan kabar hoaks yang diembuskan terkait aksi teroris sebagai politik identitas pengalihan isu. Entah dari mana sumber awalnya, saat viral masyarakat bisa langsung resah,” kata Amsori.
“PKI dikatakan bangkit lagi saja sudah membuat masyarakat cemas. Padahal kebenarannya belum ada. Tapi banyak masyarakat yang sudah kadung percaya. Pada akhirnya dilarikan ke politik identitas pemuka agama, ulama, habib dan sebagainya,” tambahnya.
Lebih lanjut Amsori juga mengatakan, pola-pola seperti itu tak ubahnya seperti pola Pemilu 1955 yang kencang memainkan isu politik aliran. Padahal di era now sekarang, isu tersebut sudah sangat kusam dan ketinggalan zaman.
“Seperti saya bilang tadi, jika masyarakat tak cerdas bermedia sosial maka akan ditinggalkan zaman. Indikasi ini sudah terlihat sekarang,“ Amsori berujar.
“Sejujurnya kita semua ingin Indonesia disebut negeri yang Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur (negeri yang subur dan makmur, adil dan aman). Namun karena dilarikan ke politik identitas dan diviralkan sesuka hati melalui media sosial, harapan sebutan itu jadi seperti jauh panggang dari api,” tandasnya.