Dewan Pers Minta Wartawan Ikuti Pedoman Liputan Terorisme

JAKARTA – Dewan Pers mengesahkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pedoman Peliputan Terorisme. Peraturan ini berlaku sejak ditandatangani oleh Ketua Dewan Pers, Bagir Manan, 9 April lalu.

Seperti yang tertulis dalam siaran pernya, seluruh pers nasional diminta untuk mempedomani peraturan ini ketika meliput peristiwa terorisme.

Pedoman Peliputan Terorisme disusun oleh Dewan Pers bersama komunitas pers dan masyarakat melalui beberapa kali pertemuan. Sebelum disahkan, rancangan peraturan ini telah dipresentasikan melalui beberapa seminar dan pelatihan di Jakarta dan daerah lain.

Penyusunan Pedoman ini didasari pada pentingnya pers berpegang pada etika dan hukum saat meliput terorisme yang disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Tujuannya semata-mata untuk kepentingan publik.

Hingga saat ini, Dewan Pers menerima banyak keluhan terkait pemberitaan tentang terorisme yang dianggap tidak profesional. Misalnya tidak mengedepankan asas praduga tak bersalah, tidak akurat, menonjolkan gambar sadisme, atau tidak berimbang.

Siaran langsung tentang kejadian terorisme juga banyak diprotes. Menyikapi masalah ini, Pedoman Peliputan Terorisme melarang pers memberitakan secara rinci atau detail peristiwa terorisme. Misalnya ketika terjadi pengepungan atau saat aparat kepolisian melumpuhkan para tersangka terorisme. Tujuannya untuk menjaga keselamatan anggota aparat yang sedang berupaya melumpuhkan para teroris.

Pedoman Peliputan Terorisme memuat 13 poin yang harus diikuti wartawan. Tigabelas poin tersebut yaitu menempatkan keselamatan wartawan sebagai prioritas utama saat meliput terorisme; menempatkan kepentingan publik di atas kepentingan jurnalistik; menghindari pemberitaan yang berpotensi melegitimasi atau glorifikasi terhadap tindakan terorisme; larangan tayangan langsung yang memperlihatkan secara detail peristiwa terorisme.

Poin berikutnya tentang kehati-hatian dalam menulis berita terorisme agar tidak menyinggung kelompok tertentu; mengedepankan prinsip asas praduga tak bersalah terhadap orang yang baru ditangkap yang “diduga” teroris; menghindari mengungkap rincian modus operandi tindak pidana terorisme seperti cara merakit bom.

Selanjutnya, tidak menyiarkan gambar sadis terkait terorisme; menghindari peliputan keluarga terduga teroris; meliput korban terorisme secara bijak dan simpatik; memilih narasumber dari kalangan pengamat yang kridibel dan kompeten di bidang isu terorisme.

Terakhir, Pedoman Peliputan Terorisme meminta wartawan tidak memenuhi undangan untuk meliput aksi terorisme. Sebaliknya, segera melaporkan rencana aksi teroris tersebut ke aparat hukum. Demikian juga segalainformasi yang menyangkut rencana aksi teroris atau rencana penanganan terorisme harus dilakukan verifikasi secara sungguh-sungguh agar tidak menimbulkan kepanikan di masyarakat.

Sumber : fajar.co.id

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *