Jakarta – Ketua Dewan Pers, Bagir Manan berpendapt bahwa situs-situs yang diblokir oleh Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) atas permintaan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bukanlah produk jurnalistik atau pers. Langkah pemblokiran itu dinilai tepat.
“Karena kalau produk jurnalistik itu sudah ada aturannya seperti yang kita tetapkan seperti ada badan hukum, susunan organisasi atau penanggung jawabnya dan alamatnya jelas,” ucap Bagir Manan saat ditemui usai melakukan Diskusi Panel Forum Penanganan Situs Internet Bermuatan Negatif yang digelar di kantor Kemenkominfo, Jakarta, Senin (6/4/2015). Bagir menjelaskan bahwa situs-situs itu tidak memenuhi syarat yang ditetapkan Dewan Pers. “Tidak ada unsur yang terpenuhi di situs yang ditutup tersebut. Jadi mereka bukan pers,” ujar Bagir.
Sebelumnya Kepala Komisi Hukum Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo juga menegaskan 22 situs yang diblokir tersebut bukan produk jurnalistik. Alhasil, Dewan Pers tak dapat melindungi situs-situs tersebut sesuai payung hukum Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pers.
“Hampir semua media tidak terdaftar di Dewan Pers. Beberapa mungkin pernah didaftarkan, beberapa juga pernah dilaporkan,” ujar Yoseph saat mengisi diskusi di kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Jakarta, Minggu (5/4).
Bahkan ada situs itu yang dilaporkan karena dianggap melanggar kode etik. Dengan demikian, bila pengelola situs yang diblokir itu menggugat, mereka tak dapat menggunakan UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pers sebagai dasar gugatan. “Dewan Pers punya kewajiban mengayomi mereka dengan beragam standar penulisan dan etika profesi, bila itu memang produk jurnalistik. Kalau memang produk jurnalistik dan mengadu ke Dewan Pers, akan kami prosesya kami yang memproses,” paparnya.
Ketua Bidang Hukum dan Regulasi Desk Cyber Kementerian Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Edmon Makarim mengatakan, pemblokiran dilakukan sesuai prosedur. ”Ini bukan kesewenangan pemerintah. Ada tata cara yang dilakukan. Regulasi ada, kami tidak akan melanggar. Sebelum memblokir, Kemenkominfo juga sudah membentuk tim panel,” ujarnya.
Edmon menambahkan, BNPT secara substantif telah menjalankan kewajiban menjaga keamanan nasional. Tidak ada faktor suka dan tidak suka saat memblokir situs.
Pihak AJI sendiri yang dikenal proaktif memperjuangkan kebebasan pers dan etika jurnalisme, kali ini justru mengapresiasi langkah Kemenkominfo yang telah memblokir situs yang dinilai mengandung unsur radikalisme karena kontennya dianggap menyebarkan kebencian dan menyerukan kekerasan atas nama agama Islam.
Ditemui terpisah Ketua AJI Jakarta Ahmad Nurhasim berujar pemblokiran itu sudah sesuai dengan Peraturan Menteri Komunikasi dan Informatika (Permen) No. 19/2014 yang menyediakan payung hukum untuk menutup akses terhadap situs Internet bermuatan negatif dan meresahkan masyarakat.
Sesuai aturan tersebut, situs konten yang bisa dilaporkan dan dapat diblokir adalah menyangkut privasi, pornografi anak, kekerasan, suku, agama, ras, dan antar golongan. Dalam kasus penutupan 22 situs ini, media tersebut digolongkan sebagai konten negatif yang dapat membahayakan masyarakat dan keamanan nasional.
“Pemblokiran ini sebenarnya telah lama dinantikan karena pemerintah harus melindungi kepentingan umum dari konten internet yang dianggap menyerukan kekerasan dan mengajak pembacanya untuk bergabung dengan
kelompok-kelompok keagamaan yang menghalalkan aksi kekerasan seperti Islamic State of Iraq and Syria (ISIS),” katanya.
Sayangnya, menurut dia, di Indonesia ini sebagian masyarakat masih belum melek media sehingga belum bisa membedakan antara situs yang merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dengan situs penyebar kebencian atau hate speech.
“Situs penyebar kebencian dan penganjur kekerasan yang diblokir itu mengklaim sebagai pers Islam atau media Islam. Padahal, sangat mudah untuk dikenali dari konten-konten yang telah mereka produksi,”ujarnya.