Banjar – Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Brigadir Jenderal Polisi Hamli, mengingatkan masyarakat di Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan, untuk mewaspadai setiap upaya pecah belah yang memanfaatkan isu agama.
Hal ini disampaikan Hamli saat menjadi pemateri di kegiatan Integrasi Nilai-Nilai Agama dan Budaya di Sekolah dalam Menumbuhkan Harmoni Kebangsaan yang diselenggarakan oleh BNPT dan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Kalimantan Selatan, Kamis (21/3/2019). Pecah belah tersebut dinilai sebagai perwujudan dari radikalisme yang dapat memantik terjadinya aksi terorisme.
Baca juga : BNPT Dorong Guru di Kalsel Buat Bahan Ajar Antiradikalisme
“Di Kalsel dulu ada konflik, tapi untungnya tidak ada kelompok radikal (yang menungganginya), jadi bisa diredam. Berbeda dengan konflik di Poso dan Ambon. Sekarang harus lebih hati-hati dengan berbagai isu yang memecah belah,” kata Hamli.
Hamli menekankan terorisme bukanlah rekayasa seperti digambarkan oleh sebagian masyarakat. Terorisme nyata ada di sekitar kehidupan masyarakat, yang salah satunya dipicu oleh sikap intoleran.
“Lalu apa saja ciri intoleran itu? Intoleran merupakan sikap ketika seseorang memiliki orientasi atau penolakan terhadap hak-hak politk dan sosial dari kelompok yang tidak setujuinya. Jika di sekitar kita ada praktik-praktik intoleransi, berhati-hatilah,” jelas Hamli.
Dalam paparannya perwira polisi penyandang satu bintang di pundak tersebut meminta masyarakat untuk tidak percaya ungkapan Indonesia menolak sistem syariah. Indonesia dipastikannya sebagai negara yang sudah sangat Islami, karena banyaknya aturan yang mengaplikasikan hukum-hukum Islam. “Undang-undang penikahan, kesehatan, dan perbankan syariah adalah produk hukum yang Islami, dan itu disahkan dan digunakan di Indonesia. Jadi jika ada yang mengadu domba, memecah belah dengan mengatakan Indonesia tidak Islami, itu salah besar,” urainya.
Polisi penyandang gelar Insinyur ahli kimia tersebut juga berpesan agar masyarakat tak mempercayai propaganda kelompok teror bahwa aksi terorisme merupakan perwujudan ajaran Islam. Dia menggarisbawahi peristiwa penyerangan dua buah masjid di New Zealand yang memakan 50 korban jiwa, di mana pelakunya merupakan penganut Kristen garis keras.
“Lalu kenapa pelaku terorisme di Indonesia kebanyakan beragama Islam? Itu karena kebetulan Islam agama yang penganutnya mayoritas di Indonesia. Tidak benar jika dikatakan terorisme ajaran Islam dan dalam penanggulangan terorisme pemerintah memusuhi umat Islam,” jelas Hamli.
Di akhir paparannya pria asli Madura tersebut mengajak masyarakat dari kelompok moderat untuk tidak tinggal diam dengan adanya praktik-praktik radikalisme di Indonesia. “Kelompok radikal itu minoritas di Indonesia, tapi mereka kompak. Cara melawannya kita dari golongan moderat tidak boleh kalah kompak, kita harus bersatu melawan radikal terorisme,” tutupnya. [shk/shk]