MAKASSAR – Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irfan Idris, mengatakan prosedur tetap atau protap yang dikantongi aparat Densus 88 dan Brimob Polda Sulawesi Selatan dan Barat (Sulselbar) sebenarnya mengatur tentang perlunya melumpuhkan teroris tanpa harus menembak mati.
Sayangnya, menurut dia, cara itu hampir sulit dipraktikkan di lapangan, karena rata-rata teroris yang ingin diringkus, mengantongi senjata. Mau tidak mau, sesuai protap, aparat pun harus menembak.
“Namanya terduga teroris, itu memang belum pasti dia adalah teroris. Tapi, di saat yang genting seperti itu, polisi tidak bisa mereka-reka, dan memastikan dia teroris seperti halnya pencuri atau perampok,” katanya kepada FAJAR (JPNN Group), Jumat (4/1) malam.
Dia mencontohkan polisi yang meletuskan tembakan peringatan ke langit, untuk meminta penjahat menyerah. “Tapi kalau penjahatnya teroris, itu beda. Teroris berpegang teguh pada prinsip dan ideologi radikalnya,” katanya. Sehingga, ketika terdesak, mereka langsung melawan. Buktinya, kata dia, sudah banyak anggota polisi yang mati terbunuh oleh teroris.
“Polisi memang diminta melakukan approach. Tapi, itu membahayakan polisi. Dalam penggerebekan di Solo, tahun lalu, misalnya, salah satu anggota Densus 88, asal Kabupaten Pinrang, Bripda Suherman, tewas tertembak pada bagian perut. Sementara, Suherman tidak mengantongi senjata. Artinya, di saat polisi tidak menggunakan senjata pun tetap ditembak,” katanya.
Meski begitu, dia tetap menyarankan, polisi seharusnya dibekali dengan kemampuan melumpuhkan teroris tanpa harus menembak. “Tetap harus ada kemampuan seperti itu, misalnya menembak bagian kaki, paha, dan tangan, yang memungkinkan mereka tidak bisa lagi melawan,” pungkasnya. (rhd-sbi/sil)
Sumber: jpnn